Kolom

Mirza Ghalib dan Sir Syed: Proses Kelahiran Seorang Cendekiawan

facade of an old building designed with colorful mosaic tiles

Kisah Sir Syed Ahmad Khan sebagai pakar pendidikan dan aktivis terpatri dalam sejarah melalui keberhasilan Aligarh Muslim University yang terkenal. Baru-baru ini, universitas ini dijuluki sebagai salah satu lembaga pendidikan terbaik di India. Meski begitu, ada kisah menarik di balik pembentukan seorang cendekiawan, intelektual, bahkan aktivis yang jarang terdengar.

Kita di Indonesia mungkin ngga familiar dengan namanya. Perlu dicatat, beliau satu dari segelintir orang muslim yang punya gelar “Sir” di tahun 1800-an. Tokoh yang dihormati di Kerajaan Inggris sana.

Pada tahun 1855, setelah menyelesaikan edisi buku Abul Fazal’s Ain-e-Akbari yang diteliti dengan baik, ilmiah, dan diilustrasikan dengan apik; Sir Syed Ahmad Khan yang berusia 38 tahun mendekati tokoh sastra terkenal Delhi, Mirza Ghalib yang sudah berusia 58 tahun. Beliau minta ‘Taqriz’ untuk karyanya yang bertema sastra dan sejarah.

Mirza Ghalib setuju, tapi yang dia hasilkan adalah puisi Persia pendek yang justru mengkritik Ai’n-e Akbari, dan secara tersirat, budaya Mughal yang megah, berpengetahuan tinggi, dan berpendidikan – dari mana karya itu berasal.

Paling tidak bisa dikatakan bahwa buku itu -menurut Mirza- cuma memiliki sedikit nilai, bahkan sebagai dokumen antik. Ngga penting ini barang, gitu lah.

Ghalib seolah menegur Sir Syed Ahmad Khan karena menyia-nyiakan bakat dan waktunya pada hal-hal yang sudah mati. Lebih parahnya, dia memuji setinggi langit “sahibs of England” yang pada saat itu menguasai segala kunci untuk segala kunci di dunia ini. Ingat, Inggris saat itu, yang ngasih beliau gelar, adalah penguasa separo dunia.

Puisinya tak terduga, tapi muncul pada saat pikiran dan perasaan Sir Syed Ahmad Khan sendiri cenderung berubah. Ghalib tampaknya tahu betul tentang perubahan dunia yang disponsori oleh Eropa/Inggris, terutama di politik India. Meskipun Sir Syed Ahmad mungkin tersinggung dengan teguran Ghalib, dia juga menyadari bahwa pemahaman Ghalib terhadap situasi, meski kurang halus, pada dasarnya akurat.

Sir Syed Ahmad Khan mungkin juga merasa bahwa dirinya, yang lebih informasi tentang Inggris dan dunia luar, seharusnya sudah melihat perubahan yang tampaknya ada di tikungan.

Sir Syed Ahmad Khan tidak pernah lagi menulis sepatah kata pun memuji Ai’n-e Akbari, bahkan dia berhenti tertarik pada sejarah dan arkeologi.

Dua tahun kemudian, tahun 1857, Pemberontakan India Besar mendekati Delhi. Muslim kehilangan kendali atas Delhi, masjid dihancurkan, dan madrasah dihancurkan. Yang paling prestisius di antaranya adalah ‘Madarsa Raheemia’ dan Masjid Akbarabadi.

Mirza Ghalib menyatakan perasaannya dalam banyak surat duka dan puisi. Namun Sir Syed, terpukul oleh tragedi tersebut, mengambil beberapa batu dari masjid Akbarabadi dan meninggalkan Delhi dengan ambisi memberdayakan Muslim di Subkontinen melalui pendidikan. Ini akan membuat generasi mendatang menjadi ahli dari ‘all a’ins of this world’, kunci-kunci dunia. Pengetahuan!

Jadi, penyair Urdu terhebat sepanjang masa, Mirza Ghalib, memainkan peran penting sebagai guru bijak yang mengkritik karya Sir Syed sebagai cendekiawan, dan Sir Syed menerima provokasi tersebut dengan positif sebagai murid yang patuh. Ini adalah cara orang-orang besar berperilaku, lalu institusi baru pun terbentuk serta generasi berubah.

Semoga episode kecil tapi signifikan dari kehidupan dua tokoh besar ini akan menginspirasi kita dan generasi mendatang untuk melakukan pekerjaan positif bagi masyarakat.

Artikel asli: https://darulfunun.id/insight/islamic-studies-civilization/20240107-mirza-ghalib-dan-sir-syed-proses-kelahiran-seorang-cendekiawan

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button