Kolom

Jika Hanya Mengejar Ghanimah

wrecked ship

โ˜• ๐ต๐‘’๐‘ฆ ๐ด๐‘๐‘‘๐‘ข๐‘™๐‘™๐‘Žโ„Ž

Sejarah, dalam lembarannya yang tak terhitung, sering kali menuliskan kisah-kisah tentang bagaimana keunggulan moral dan integritas mengatasi kekuatan fisik. Salah satu cerita paling ikonik adalah tentang Daud, pemuda yang dengan keberaniannya berhasil mengalahkan Jalut, seorang raksasa yang ambisius dan serakah. Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa keberanian dan kepercayaan diri, dikombinasikan dengan tujuan yang benar, dapat mengatasi rintangan terbesar sekalipun.

Sejarah juga memberi kita pelajaran melalui kisah Musa dan Firaun. Musa, dengan keteguhan hati dan kepercayaan kepada kebenaran, memimpin rakyatnya melintasi tantangan yang tampaknya mustahil. Sementara Firaun, dengan semua kekuasaan dan ambisinya, mengejar hingga akhirnya tenggelam dalam Laut Merah. Kisah ini menggarisbawahi bahwa keangkuhan dan pengejaran buta terhadap kekuasaan sering kali mengarah pada kehancuran diri.

Dalam konteks yang berbeda, sejarah juga mencatat kekalahan pasukan Muslim dalam Pertempuran Uhud, yang diakibatkan oleh ketertarikan mereka pada harta rampasan perang (ghanimah). Saat kemenangan tampak sudah di tangan, sebagian dari mereka tergoda oleh keuntungan materi dan mulai memperebutkannya. Akibatnya, mereka mengalami kekalahan yang pahit yang menyesakkan, sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana ketamakan (iming-iming terhadap ghanimah) dapat mengaburkan penilaian dan merusak komitmen.

Kisah-kisah ini, meskipun terjadi dalam berbagai konteks dan zaman, menyampaikan tema yang sama: bahwa kegemilangan diraih dengan berpegang teguh pada prinsip dan nilai yang benar, dan tidak tergoda dengan hasil dari apa yang didapat seperti harta ataupun kuasa. Dalam setiap kasus, tujuan yang difokuskan untuk meraih rampasan (ghanimah), bukan pada kekuatan moral, bukan integritas pada keadilan, bukan pula keyakinan pada kebenaran, ataupun komitmen terhadap nilai-nilai etis, hal itu tidak akan bernilai besar, bahkan justru akan memberikan rasa kalah walaupun secara fisik memiliki kemenangan.

Jika hidup hanya mengejar ghanimah maka tak ubahnya kita seperti anjing ataupun binatang liar yang mengklaim kawasan ketika kemenangan. Kelebihan manusia adalah dalam hal akal, integritas, mengajak dalam kebaikan dan mampu membedakan haq dan bathil. Kisah-kisah diatas hakikatnya adalah mengajarkan kepada kita bahwa menang dan kalah haruslah memiliki tujuan yang lebih besar daripada sekedar merebut dan mendapatkan kelebihan akibat dari kemenangan tersebut.

Di dalam dunia yang sering kali terlihat sebagai arena persaingan menang kalah bahkan tanpa batas, kita mudah untuk terjebak dalam perburuan tanpa henti untuk keuntungan dan keunggulan. Namun, manusia sejatinya dilengkapi dengan tujuan dan prinsip yang lebih tinggi daripada sekedar menjadi pemain yang liar dalam perebutan segala yang terlihat menguntungkan dan dapat diraih.

Bumi Eropa yang dikenal sebagai negeri syuhada para pejuang Andalusia menyimpan satu cerita bagaimana ghanimah yang banyak memperlambat gerak para pejuang dan kehilangannya mengakibatkan padamnya semangat perjuangan yang tulus. Ghanimah adalah godaaan, dan siapa yang terlena telah memberikan luka dan sifat kerdil pada hatinya. Tidak akan mungkin integritas dan api perjuangan dapat bersemanyam di hati yang kerdil.

Ketika hidup hanya difokuskan pada mengejar ghanimah, entah itu berupa kekuasaan atau pun harta, kehilangan rasa syukur menjadi konsekuensi yang sangat tidak terhindarkan. Rasa lapar untuk menguasai untuk mendapatkan lebih banyak harta rampasan membutakan kita dari menghargai apa yang sudah didapatkan secara halal dan dengan kerja keras. Bahkan lebih ironinya bahwa ghanimah yang kita incar bukanlah bukti dari apa-apa yang kita coba usahakan dengan kerja keras selama ini.

Walaupun Islam menghalalkan ghanimah, Islam juga memiliki tuntunan dan peringatan untuk berhati-hati terhadap ghanimah. Sekiranya zakat berjumlah 2,5% untuk harta yang kita usahakan, sedangkan ghanimah dituntut sebanyak 20%, jauh lebih banyak dari zakat. Filosofi ini seperti zakat pertanian sebesar 5% untuk hasil pertanian yang diusahakan dan 10% untuk hasil pertanian yang dibiarkan begitu saja. Hal ini mengingatkan kita harta-harta yang diperoleh hanya dengan goyang-goyang kaki memiliki kewajiban yang dituntut oleh Allah. Karena sekiranya adanya hal tersebut adalah akibat dari apa yang dikehendaki oleh Allah bukan dari apa-apa yang terasa kita usahakan.

“Dan ketahuilah, bahawa apa sahaja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya satu perlimanya (dibahagikan) untuk (jalan) Allah, dan untuk RasulNya, dan untuk kerabat (Rasulullah), dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ibnus-sabil (orang musafir Yang keputusan)…”

(QS Al-Anfal : 41)

Dalam usaha yang tidak kenal lelah untuk meraih kemakmuran yang melimpah, banyak yang tergelincir jauh dari jalur yang benar jika tidak berhati-hati memperolehnya dalam tuntunan agama. Berapa banyak yang bekerja dan mengabdi, misalnya, yang berakhir dengan penyesalan karena tergiur oleh kemudahan-kemudahan yang seharusnya menjadi larangan? Gaji dan penghargaan atas pengabdian mereka seolah-olah tidak lagi memuaskan, sehingga mereka terdorong untuk mengambil lebih, berkhianat hingga menerima suap atas pekerjaan yang sejatinya merupakan kewajiban mereka. Fenomena akhir zaman ini adalah hal yang saat ini nampak terlihat umum dimana-mana, di contohkan oleh yang tua dan ditiru oleh yang muda. Betapa pongahnya kita dengan harta dan kuasa ghanimah yang melenakan, terlebih lagi didapatkan dengan cara yang salah.

Dr Isra Ahmadsyah menginspirasi penulis dalam tulisannya dalam harian Aceh yang berjudul “Ketika Amanah Dianggap Ghanimah” menguraikan bagaimana amanah pada saat ini yang melekat kepada abdi negara, pemerintah, swasta dan masyarakat secara umum dianggap sebagaimana ghanimah. Seolah-olah kemenangan dalam mencapai karir, posisi, kontestasi politik dan persaingan telah memberikan kita hak mutlak terhadap posisi dan kuasa tersebut. Menjadikan kita boleh melakukan dan menguasai apa saja dengan cara apa saja, tanpa mempertimbangkan amanah dan ada kewajiban yang ternodai.

โ€œWahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahuiโ€.

(QS. Al-Anfal : 27)

Hal ini menunjukkan sebuah ironi yang menyedihkan tentang kondisi etika moral kemanusiaan kita: ketika pencapaian dan akumulasi kekayaan dianggap sebagai ukuran utama tentang kesuksesan. Kita kehilangan pandangan terhadap nilai-nilai yang seharusnya membimbing tindakan kita. Kita menjadi buta terhadap dampak jangka panjang dari tindakan kita, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap masyarakat sekitar. Kita tidak tahu kapan menarik rem tangan untuk mengendalikan diri kita dari godaan kekuasaan dan harta ghanimah.

Integritas dan idealisme seharusnya menjadi kompas yang mengarahkan kita dalam mengambil setiap keputusan. Sejarah telah menunjukkan bahwa hanya melalui pemeliharaan nilai-nilai ini, individu dan masyarakat dapat mencapai kemajuan yang berkelanjutan dan bermakna menciptakan peradaban yang madani dan penuh hikmah. Masyarakat yang beradab lebih tertata, dan akan mudah berkembang untuk mencapai kemakmuran.

“Dari agitasi menuju terorganisir, dengan pendidikan”

(Bung Hatta)

Kehidupan yang difokuskan pada mengejar ghanimah sering kali mengarah pada hancurnya spiritual dan kehancuran moral yang kasat mata, walaupun secara fisik harfiah kita terlihat bermarwah. Kesenangan dan kekayaan yang disandarkan hanya bermodal ghanimah tidak akan pernah bisa memberikan kepuasan sejati. Alih-alih, hal tersebut hanya menambah berat beban jiwa, menghitamkan hati yang sejatinya tengah dipersiapkan untuk akhir yang baik. Menghilangkan tujuan dan cita-cita yang luhur.

Untuk meraih dan memperbaiki hal ini, kita harus kembali pada dasar-dasar, mengingat kembali nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh agama untuk membimbing kehidupan kita. Bekal yang paling berharga ditinggalkan orang tua dan guru-guru kita adalah bekal kefahaman dalam agama. Lapar bisa tahan, haus dahaga bisa ditunda, tetapi tidak khianat dalam amanah ataupun menyalahi tuntunan agama. Kesalah yang merupakan satu kesalahan yang sia-sia di dunia dan akhirat. Tidak bersandar pada ghanimah adalah tentang membangun karakter yang kuat dan memiliki nilai-nilai yang luhur.

Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memilih jalannya sendiri, untuk menentukan apa dan bagaimana jalan hidupnya. Kita mudah untuk melupakan bahwa apa yang kita tinggalkan di dunia ini bukanlah sekedar harta yang kita kumpulkan, tetapi juga jejak yang kita ciptakan melalui tindakan dan keputusan kita. Warisan yang paling berharga adalah teladan integritas dan idealisme yang kita tunjukkan kepada generasi yang akan datang, bukan sebaliknya.

Akhirnya, jika hidup hanya mengejar ghanimah, kita akan menemukan bahwa pada akhirnya, itu adalah perjalanan yang kosong, tanpa tujuan dan tidak memberikan nilai tambah dari keberadaan kita. Kekayaan sejati terletak dalam hasil usaha dari keringat dalam mencapai dan menjalani kehidupan yang bermakna. Integritas dan idealisme menjadi pemandu kita dalam setiap langkah. Semoga Allah berkenan menjadikan lelah kita menjadi lillah yang bermakna ibadah.

Donasi Dukung Kita

Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/ibrah/20240328-jika-hanya-mengejar-ghanimah

Related Articles

Back to top button