Tidak Mungkin Amal Shalih Dibangun di Atas Harta Syubhat


Bismillahirrahmanirrahim…
Di zaman yang penuh fitnah ini, tidak mudah bagi seorang Muslim untuk menjaga diri dari harta yang syubhat, apalagi haram. Namun, kewaspadaan terhadap sumber dan harta merupakan keharusan dalam agama. Sebab, amal shalih yang dibangun di atas harta ataupun sumber yang tidak bersih, tidak akan diterima oleh Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik (halal) yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 172). Ayat ini menegaskan pentingnya memakan dari harta yang halal dan baik. Amal ibadah yang kita lakukan adalah sangat bergantung pada sumber rezeki yang kita konsumsi.
Pertanyaannya kemudian apakah kita beramal shalih dengan harta ataupun sumber-sumber kekuasaan yang memang mutlak halal kita peroleh? adakah sumber dan harta yang syubhat, yang masih dapat dipertikaikan halal dan haramnya, ataukah masihkah ada sumber dan harta yang masih ada hak orang lain yang dituntut olehnya yang belum kita selesaikan. Jika itu syubhat itu yang ada, maka percayalah sumber dan harta yang kita kita jadikan pondasi kita beramal shalih akan menjadi hal yang sia-sia, bahkan dapat menjadi bukti yang menjerumuskan kita dalam siksa api neraka.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik…” (HR. Muslim no. 1015). Hadits ini menunjukkan bahwa Allah tidak akan menerima sedekah, infak, atau ibadah apa pun dari harta yang berasal dari sumber yang tidak jelas atau syubhat. Sekiranya ada sumber yang yang syubhat maka kewajiban bagi kita untuk membersihkan hal itu terlebih dahulu, sebelum kita berbangga mampu untuk melakukan amal shalih.
Amal shalih seperti sedekah, zakat, wakaf, atau bahkan membangun masjid sekalipun, tidak akan bernilai jika berasal dari harta yang haram atau syubhat. Sebab, Allah menilai bukan hanya bentuk amalnya, tetapi juga dari mana asal-usulnya. Apakah harta dan sumber itu diambil dari hak orang lain ataupun berasal dari sumber-sumber syubhat lainnya
Sebagian orang mungkin merasa membersikhkan diri menyucikan harta haramnya melalui jalan kebaikan, seperti menyumbang untuk masjid atau anak yatim. Namun pemahaman ini keliru. Karena dalam Islam, ghayah tidak membenarkan wasilah, tujuan baik tidak membenarkan cara yang haram. Maka untuk berbuat baik seorang muslim perlu berbuat baik kepada dirinya sendirinya dengan ibadah khususnya shalat, membersihkan hartanya dengan zakat, menjaga ambisinya dengan puasa baru kemudian berfikir untuk berbuat amal shalih yang lebih besar dengan pondasi amal ibadah pribadinya.
Jika seorang muslim masih berbuat aniaya terhadap dirinya dengan shalatnya yang tidak teratur, puasanya yang hanya mendahagakan ataupun harta-harta yang hanya dibanggakannya tanpa dizakati, ada baiknya dia fokus terlebih dahulu memperbaiki ibadahnya sebelum melakukan amal shalih dengan hal-hal yang syubhat. Karena hal ini selain akan merusak amal shalih tersebut juga akan memberikan kerugian baginya dihari perhitungan.
Ulama klasik maupun kontemporer kesemuanya sepakat amal shalih harus dibangun dalam pondasi sumber dan harta yang diyakini kehalalannya, sehingga sumber dan harta yang syubhat bukan saja tidak mendatangkan pahala dalam amal shalih justru akan mendatangkan bencana dan dosa. Ulama-ulama kontemporer seperti Syekh bin Baz, Syekh Qradhawi, Syekh Shalih Utsaimin, serta Syekh Wahbah az-Zuhaili para ulama fikih kontemporer menegaskan yang intinya “amal shalih, termasuk diantaranya membangun masjid, madrasah, atau wakaf lainnya dari sumber dan harta yang syubhat seperti korupsi, menganiaya hak orang lain, riba dan sebagainya maka amal shalihnya akan sia-sia bahkan mendatangkan dosa”.
Harta syubhat adalah harta yang tidak jelas halal atau haramnya. Contohnya, keuntungan bisnis yang diperoleh dari manipulasi, suap, riba, atau ketidakjelasan akad. Banyak orang meremehkan syubhat, padahal Nabi telah memperingatkan kita untuk menjauhinya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram pun jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara syubhat yang tidak diketahui oleh banyak orang…” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau kemudian menjelaskan bahwa siapa saja yang menjauhi perkara syubhat, maka ia telah menjaga agamanya. Perpindahan harta kepada sesama muslim adalah hal muamalah perlu dilakukan dengan cara yang halal, maka perampasan dan hak orang lain yang tidak ditunaikan justru memperjelas status kesyubhatan sumber dan harta tersebut.
Amal shalih adalah cahaya bagi seorang mukmin. Namun, jika amal itu dibangun di atas fondasi yang kotor, maka cahaya itu akan meredup, bahkan padam. Amal shalih sejatinya merupakan bentuk ketundukan total kepada Allah, dan itu mencakup cara mendapatkan dan menggunakan harta. Bahkan ada ulama yang mengatakan memaksakan hal yang syubhat menjadi halal padahal telah jelas disampaikan, adalah bentuk kesyirikan kepada Allah SWT.
Ada kisah menarik dari sahabat yang begitu takut mengonsumsi harta yang syubhat. Umar bin Khattab pernah memasukkan tangan pada mulutnya untuk memuntahkan susu yang diberikan padanya karena ragu akan kehalalannya, padahal ia dalam keadaan sangat haus. Halal dan haram adalah benang tipis yang menjadi diterimanya amal shalih kita. Karena kita hidup hanya sekali, dan tujuan kita adalah mempersiapkan kehidupan akhirat kita, janganlah kita mudah tertipu dan senang dengan kegemilangan yang penuh dengan kesyubhatan. Terlebih yang pada masa ini yang mudah dilakukan dengan tipu daya dan fitnah.
Zaman sekarang menuntut kita untuk lebih teliti. Gaji, keuntungan usaha, bonus, bahkan hadiah, perlu ditelaah asal-usulnya. Jangan sampai kita beribadah dengan semangat tinggi, tetapi tidak ada yang diterima karena sumbernya tidak bersih. Menjaga kehalalan harta adalah bagian dari menjaga hati. Hati yang dipenuhi dengan harta haram akan gelap dan sulit menerima cahaya petunjuk. Sebaliknya, hati yang bersih karena rezeki yang halal akan ringan dalam beribadah dan mudah menerima nasihat.
Banyak ulama salaf dahulu menolak pemberian dari penguasa atau orang kaya jika mereka ragu terhadap sumber hartanya. Mereka lebih memilih hidup sederhana dengan harta halal daripada hidup mewah dengan harta syubhat. Bahkan, makanan yang kita makan memengaruhi doa yang kita panjatkan. Dalam hadits disebutkan tentang seseorang yang berdoa panjang sambil mengangkat tangan ke langit, tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan dari yang haram. Maka, bagaimana mungkin doanya akan didengarkan oleh Allah SWT?
Tulisan ini menjadi pengingat bahwa amal shalih tidak dapat berdiri sendiri menjadi pahala tanpa memperhatikan sumber dan harta yang dipergunakan dalam amal shalih. Tidak mungkin amal shalih dapat dibangun dari kekuasaan yang dibangun dari perampasan hak seseorang. Amal yang diterima adalah amal yang dibarengi dengan keikhlasan dan dibangun dari harta yang halal. Bukan sekadar aktivitas lahiriah, tapi juga proses yang bersih dari awal hingga akhir.
Mari kita periksa kembali diri kita. Bersihkan yang masih syubhat. Selesaikan hak orang lain, terlebih yang kita berjanji dihadapan Allah untuk adil kepadanya. Tinggalkan yang haram. Dan bangunlah amal shalih kita di atas pondasi yang suci agar bernilai di sisi Allah.
Semoga Allah memberi kita rezeki yang halal, hati yang bersih, keberkahan dalam amal, dan menjadikan amal ibadah kita sebagai shadaqah jariyah.
Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/fikih/muamalah/harta/20250517-tidak-mungkin-amal-shalih-dibangun-di-atas-harta-syubhat