Tantangan Kompetisi, Sabotase dan Bermain Fair
persiapan kerangka baru pendidikan berbasis komunitas yang berorientasi pemberdayaan ekonomi
Menghubungkan dunia pendidikan, riset dan dengan bisnis biasanya melalui cara komersialisasi produk. Didalam satu ekosistem yang sama dengan standar kompetisi yang jelas dan “fair” tentu menjadi hal yang dapat mendukung pengembangan ekosistem pendidikan.
Ditengah-tengah persoalan krisis pangan, dan upaya kita untuk mengarahkan komunitas pendidikan baik yang kecil seperti pesantren ataupun yang besar seperti perguruan tinggi, maka perlu juga kita melihat beberapa kondisi kompetisi yang akan terjadi ditengah-tengah pemain baru yang masih awam tersebut.
Di Internasional kita pernah lihat bagaimana perang dagang Apple dan Samsung yang beberapa tahun telepon pintarnya tidak bisa dipasarkan di US? Ataupun seperti saat ini ketika Huawei yang ditolak masuk untuk menghalangi produk 5Gnya.
Sabotase-sabotase ini sepertinya sudah biasa dilakukan oleh dunia internasional khususnya US untuk menghalang-halangi momentum sejarah ataupun catatan penting dalam paten atau inisiasi. Peluncuran produk sangat penting dalam dunia marketing untuk mematenkan sejarah selain dokumen paten itu sendiri. Fitur-fitur baru diperkenalkan, seolah-olah siapa yang pertama mendeklarasikan merekalah sang pencipta sejarah, sehingga ada dampak ekonomi yakni pembayaran paten oleh kompetitor sesudahnya. Tetapi sistem ini baru matang di pemain-pemain besar G20, walaupun negara-negara lain diminta mengikutinya.
Selain mencoba menguji napas panjang kompetitor, perlu dipahami US adalah pasar yang penting dunia bukan secara kuantitas, seolah menjadi indikator jika diterima di US maka baik untuk seluruh dunia.
Gambar diatas ini dipercaya tahun 1927an prototipe pertama helikopter yang dibuat di Turki. Juga pada tahun 1800 Turki sebagai pelopor kegiatan surveyor peta minyak Timur Tengah, dan bocor dari agen misi rahasia Turki, dan pada perjalanannya Turki Ottoman bubar dan baru pada tahun 2020 Turki modern memiliki eksplorasi ladang minyak sendiri. 150-200 tahun yang hilang harus dibayar dengan mengimpor minyak mentah.
Indonesia rasanya pernah juga mengalami hal ini, ada dua hal yang akhirnya muncul dipasaran setelah ada embargo terhadap industri penerbangan di Indonesia. Winglet penambah stabilitas kontrol diujung pesawat dan fly by wire yang mengurangi penggunaan transfer kontrol dan tenaga secara mekanis atau hidrolis. Walaupun bukan dalam hal paten, tetapi untuk penggunaan dalam satu produk utuh bisa jadi jika hal itu terwujud, itulah produk yang pertama mengaplikasikannya.
Isu-isu besar selalunya ada banyak kepentingan, dan biasanya yang mempersekusi hanya yang mempunyai kepentingan isu yang paling kecil tapi memiliki sensitifitas yang besar, yakni kekhawatiran, dan mungkin juga sakit hati.
Sebab itu dalam surat Al-Falaq disebut penyakit mental yang bisa terikat dengan kejahatan yang besar yang juga menarik dunia lain seperti jin dan sihir adalah “hasad” dan “ketamakan”.
Beberapa tahun kedepan Indonesia akan dihadapkan dengan pendidikan tradisional yang masuk berperan dalam berbagai sektor secara regional dan nasional. Sehingga perlu rasanya sebelum hal yang tidak “sportif” terjadi, perlu rasanya kita “tawadhu” memantaskan diri sebelum merasa kita, lembaga kita, komunitas kita menjadi pemain paling penting dan merendahkan yang lainnya.
Menunggu kebijakan kompetisi yang sehat dan matang rasanya juga perlu didukung dengan kesadaran dari pemain-pemain dari lembaga pendidikan dan juga dunia bisnis untuk saling memberi ruang untuk berkembang dan tidak mendorong dalam sudut keputusasaan. Sehingga baik pemain baru maupun pemain lama tidak saling bertindak diluar batas yang mungkin akan mendzalami pihak yang lainnya.
Untuk menjaga hati yang sehat yang dijaga dengan ibadah, kita perlukan juga akal yang furqan yang makanannya ilmu dan bacaan, dan juga yang tidak kalah penting adalag olahraga untuk fisik yang kuat untuk beramal.
Semoga dimudahkan untuk kita semua…