Kolom

Pilihan Terakhir Energi Indonesia

Eksklusivitas ilmu pengetahuan tidak selalu memiliki “korelasi-positif” dengan sebuah prediksi. Parameter “input” informasi yang tidak memadai menjadikan proses teknokratik tidak selamanya sebangun dengan konsep ilmu pengetahuan sosial. Hal tersebut terjadi karena para teknokrat tidak selalu dapat memprediksi “epidemic” yang akan terjadi pada masa depan, sementara ilmu pengetahuan sosial diharapkan memiliki kemampuan dalam memprediksi apa yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. Kurva “S” dalam proses inovasi hanya mampu menggambarkan prediksi sederhana dimulai dari effort luar biasa yang harus dilakukan para inventor untuk melampaui lembah kematian,  kemudian secara eksponensial melakukan proses inovasi, dan akan berulang secara kontinyu sesuai perkembangan lingkungan.

Bukan lagi menjadi rahasia bahwa Energi semakin banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, menjadi topik yang seksi untuk digunjingkan, bukan hanya sebatas kelangkaannya tetapi juga pilihan-pilihan strategis terhadap jenis energi yang akan dipakai sebagai motor penggerak industri masa depan yang menuntut green technology dan ramah lingkungan. Menurunkan kandungan Carbon-diokside merupakan komitmen internasional yang harus dipenuhi Indonesia.

Pemanfaatan energi tertentu yang dikategorikan sebagai “pilihan terakhir” merupakan “fluktuasi” antara “kehampaan” dan “ketegasan hukum”  (determinisme dan indeterminisme), sebuah “pengangkangan” kedaulatan dan demokrasi di bidang kemandirian teknologi energi. Hal ini terlihat dari tidak adanya keseimbangan keberpihakan terutama pada hukum yang berlaku tegas dan tajam terhadap jenis energi tertentu, tetapi “impoten” dan “tumpul” terhadap jenis energi lainnya. Sebuah fluktuasi antara “kebenaran” dan “kepalsuan” yang diputarbalikkan.

Ingatkah bahwa dalam sebuah pernyataannya, Presiden Soekarno dengan lantang mengatakan : ”Untuk Indonesia menjadi Bangsa besar (berdaulat)  “harus” menguasai Nuklir dan Antariksa”

Sementara ketika Indonesia telah memiliki kedaulatan sumber daya manusia di bidang teknologi nuklir, pemanfaatannya selalu kembali pada titik abu-abu (titik awal), yaitu pilihan antara kesatuan (unity) dan perpecahan (disunity), sehingga posisi nasional menuju sebuah kedaulatan energi berada di ambang “sebuah penantian besar” (the nation in waiting).

Believe it or Not, bahwa proyeksi permintaan energi di Indonesia akan terus meningkat, seiring dengan pertumbuhan ekonomipertumbuhan jumlah pendudukdan peningkatan kesejahteraan rakyat. Konsumsi listrik per-kapita Indonesia yang saat ini mencapai 850 KWh akan terus meningkat pada masa mendatang, terlebih bila dilihat dari prediksi tingginya pertumbuhan jumlah dan dinamika transportasi. Sementara rendahnya laju penyediaan energi sangat “erat” dengan “keterbatasan” kemampuan pendanaan pemerintah, besarnya subsidi energi untuk BBM dan listrik serta harga pasar yang fluktuatif. Dengan keterbatasan ini, mengakibatkan “sulitnya” membentuk pasar energi yang efisien di dalam negeri, sehingga para produsen energi lebih tertarik untuk mengekspor produk energinya daripada melayani kebutuhan domestik yang tidak kompetitif.

Sementara itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara “mandiri dan berdaulat” diperlukan sebuah konsistensi antara lain berupa “dukungan pemerintah termasuk penjaminannya” dalam bentuk keseimbangan pertumbuhan kapasitas pembangkit yang seiring dengan laju permintaan dan kebutuhan energi.

72 tahun kemerdekaan, tentu berdampak pada umur pakai pembangkit yang beroperasi di Indonesia. Banyak unit pembangkit telah menjadi sangat tua, melampaui umur pakainya dan mungkin masih ada yang terus beroperasi pada kapasitas yang sudah jauh berkurang dan tidak optimal, yang mengakibatkan kehandalan dan bahkan produktivitas pembangkit listrik tersebut dipertaruhkan. Berbagai wilayah masih terjadi pemadaman listrik secara berkala, membuktikan bahwa kebutuhan energi belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari pembangkit yang telah beroperasi saat ini.

Diperlukan Out of the box clean energy policy khususnya untuk pemanfaatan bahan bakar nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik.

Presiden Joko Widodo pada Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan memberikan penekanan bahwa, “Indonesia sedang bersaing dengan bangsa lain, untuk itu harus berani terbuka dan “berani” ber-inovasi untuk menjadi Bangsa Pemenang”. Hal itu merupakan sebuah tantangan “Doktrin Teknokrasi” tentang bagaimana sebuah kebijakan Inovasi dapat di-imajinasikan, diformulasikan dan diimplementasikan kedalam kerangka pembangunan jangka panjang yang berbasis pada kemandirian.

Mengukur keberhasilan sebuah inovasi Indonesia secara mudah adalah dengan melihat “turun/naiknya” posisi dalam peringkat Global Competitiveness Index. Peringkat ini ditentukan melalui 12 pilar inovasi yang antara lain adalah tingginya “potensi” keunggulan komparatif Indonesia yang dapat dipakai sebagai faktor kunci solusi atas segala tantangan dan hambatan bagi Indonesia untuk menjadi salah satu kutub kekuatan ekonomi dunia.

Terobosan kebijakan pemanfaatan energi nuklir akan bermakna jika faktor kritis akselerasi implementasi kebijakan dapat integrasikan dan dipertimbangkan dengan baik, diantaranya adalah perlunya dorongan peningkatan anggaran untuk riset sedikitnya sebesar 1% PDB. Dengan anggaran itu peneliti, perekayasa dan akademisi dapat memulai sebuah “lompatan baru” memperkecil ketertinggalan inovasi, terutama dalam melakukan persiapan penguasaan teknologi pembangkit energi bersih yang mampu disalurkan kepada industri dan masyarakat dengan harga “terjangkau” dan berkelanjutan. Hal ini tentu akan berdampak pada lahirnya skema baru dalam peta energi nasional,  yang mengalihkan penggunaan teknologi energi konvensional, dengan teknologi energi bersih dan ramah lingkungan, sekaligus memenuhi komitmen Indonesia terhadap COP-21 dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% tahun 2030.

Adalah “tidak fair” jika ketika ketentuan pemanfaatan energi baru dan terbarukan “dikecualikan” bagi energi nuklir, sementara tidak ada satu sumber energi listrik di Indonesia bisa memenuhi pasokan energi nasional berskala besar sebagai based load, yang bersih dan bebas dari emisi karbon.

Ketakutan terhadap pemanfaatan Energi nuklir yang dijadikan sebagai determinisme hukum dengan menempatkannya sebagai “pilihan terakhir” menjadi tidak beralasan ketika penggunaan uranium sebagai bahan bakar nuklir harus memenuhi ketentuan standar Internasional keselamatan secara sangat ketat pada tingkat keamanan yang sangat tinggi di bawah pengawasan langsung Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Apalagi di sisi lain, paradigma baru sektor energi dunia telah mengusung mandat tentang pentingnya keberlanjutan (sustainability) atas dampak perubahan iklim global akibat emisi gas rumah kaca, dimana perubahan iklim global ini memberikan implikasi langsung pada perubahan peta energi global. Pada saat ini telah banyak Negara mengurangi penggunaan teknologi energi konvensional, dan beralih pada teknologi energi yang lebih ramah lingkungan.

Belum terlambat bagi Indonesia untuk segera melakukan evaluasi peran penting energi nuklir sebagai pembangkit listrik dengan mempertimbangkan trend perkembangan peta energi global saat ini, karena nuklir sebagai sebuah teknologi pembangkitan yang memiliki tingkat keamanan dan keselamatan yang tinggi, terukur dan bebas dari emisi gas rumah kaca.

 

Inovasi, dan Peran Penting PLTN untuk Kaum Miskin..

Indonesia saat ini sedang melakukan transformasi menjadi negara maju dan berdaya saing yang memerlukan pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi, berguna untuk peningkatan pendapatan, kualitas kehidupan, dan tingkat harapan hidup. Teknologi tidak lagi difokuskan untuk kebutuhan konsumen semata. Lahirnya teknologi sudah semestinya “mempesempit” jurang antara kaya-miskin, Gini Ratio harus mampu diturunkan ke tingkat yang rendah. Hal itu karena “hakikat” ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memberikan kemudahan dan kesejahteraan bagi manusia, oleh karena itulah diperlukan Inovasi, dan “nyawa” dari Inovasi tersebut adalah “energi”.

Diperlukan lima kriteria dalam memanfaatkan penggunaan Nuklir sebagai energi listrik: Pertama, Teknologi yang dipilih harus sudah matang dan teruji (proven), kedua, dibutuhkan dukungan pemerintah dan penjaminan untuk menjangkau biaya teknologi, ketiga, dibutuhkan perancangan smart business modelke-empat, dukungan kuat atas infrastruktur dasar dan pendukungnya, serta ke-lima adalah pengakuan kemampuan oleh dunia internasional dalam mengelola dan mengoperasikan tiga reaktor riset, fasilitas produksi bahan bakar nuklir, dan fasilitas pengolahan limbah radioaktif. Bahwa tiga buah reaktor instalasi nuklir berteknologi tinggi telah berhasil dioperasikan tanpa terjadi kecelakaan nuklir sejak jaman kemerdekaan. Kemampuan tersebut didukung tentu oleh Sumberdaya manusia BATAN, BPPT, BAPETEN, UGM, ITB, UI, STTN dan lain-lain yang diakui sebagai “Top Level Nuclear Engineer and Technology” di Asia Tenggara, sehingga tidak ada keraguan dalam mewujudkan pembangunan PLTN di Indonesia.

 

Akankah PLTN tetap menjadi pilihan terakhir?

Bagi peneliti, perekaya dan inovator yang diperlukan saat ini bukan hanya sebuah keputusan, tetapi bagaimana merumuskan dan merencanakan keputusan untuk menentukan teknologi nuklir secara bersama sebagai pilihan yang harus dilakukan, karena “keputusan-investasi” perlu dipastikan pada saat yang “tepat” guna menyerap demand energi yang semakin tinggi. Pilihan pembangkit yang sesuai akan menjadi ideal jika penempatannya direncanakan dengan baik. Sehingga dengan itu sistem distribusi energi memiliki keuntungan dan efisiensi, karena terjadi hubungan terintegrasi antara sistem pasokan listrik dan kebutuhan pelanggan, termasuk pengelolaan beban puncak.

 

Dari Pilihan Terakhir Menjadi Pilihan Utama…

Target pemenuhan energi listrik diperkirakan tidak akan terpenuhi dengan hanya mengandalkan minyak, batubara, gas serta pembangkit lain seperti air, panas bumi, angin, matahari, arus laut dan sejenisnya. Beberapa data empiris menyampaikan bahwa “batubara” dan “gas” kita akan habis pada tahun 2087 dan 2052. Sehingga kebijakan untuk mengandalkan energi fosil akan membahayakan prinsip sustainabilitas/keberlanjutan.

Mencomot data dari berbagai negara bahwa untuk membangkitkan energi listrik  sebesar 1000 MWe selama setahun memerlukan bahan bakar sebesar 21 ton uranium, yang setara dengan 970.000 ton gas, 1.310.000 ton bahan bakar minyak dan 2.360.000 ton batu bara. Berdasarkan fakta ini pembangkit listrik berbahan bakar nuklir memenuhi keekonomian dan dapat dipertimbangkan sebagai energi pilihan yang sangat efisien bersih dan memiliki kehandalan tinggi.

Dan sekali lagi, kenapa PLTN menjadi penting? Analisa makro-ekonomi di dalam berbagai studi telah memberikan jawabannya, bahwa PLTN merupakan “teknologi tunggal” yang bisa dikatakan “paling murah” dalam segala situasi, telah berkontribusi secara signifikan terhadap mitigasi gas rumah kaca, meningkatkan PDB secara drastis dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, meningkatkan lapangan pekerjaan di seluruh perekonomian (multiplier effects), kestabilan harga makroekonomi, sebagai spill-over knowledge dan teknologi, sebagai impuls pengembangan industri dan itu akan meningkatkan daya saing, kemandirian dan kesejahteraan.

oleh: Dr. Ir. Agus Puji Prasetyono, M.Eng

Penulis adalah Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi Bidang Relevansi dan Produktivitas, Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

 

Sumber: Kolom Opini – Ristekdikti

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button