Kolom

Jika Wajib Belajar 13 Tahun, Kenapa Sekolah Menengah Tidak Disatukan Menjadi 6 Tahun?

photo of empty class room

Sistem pendidikan di Indonesia telah lama menetapkan jenjang sekolah menengah menjadi dua tahap, yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs) selama tiga tahun dan Sekolah Menengah Atas (SMA/MA) atau sederajat selama tiga tahun. Struktur ini pada awalnya saya rasa dirancang berdasarkan kebijakan wajib belajar 9 tahun yang hanya mencakup SD dan SMP. Pada masa itu, SMA tidak ada atau tidak termasuk dalam wajib belajar karena masih dianggap sebagai pendidikan lanjutan yang bersifat opsional. Hal ini juga dibuktikan dalam beberapa data statistik mulai mengecilnya persentase keberlanjutan sekolah di jenjang SMA.

Pembagian ini memiliki alasan historis dan praktis. Ketika pemerintah pertama kali menerapkan wajib belajar 9 tahun, fokus utamanya adalah memastikan setiap anak mendapatkan pendidikan dasar yang cukup untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif. Oleh karena itu, jenjang SD dan SMP diprioritaskan sebagai tahap pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh semua anak. Sementara itu, SMA lebih berfungsi sebagai pendidikan lanjutan bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi atau memperoleh keterampilan lebih tinggi sebelum memasuki dunia kerja.

Namun, dengan diperpanjangnya wajib belajar menjadi 12 tahun dan kini mulai diusung rencana wajib belajar 13 tahun, di mana setiap anak kini diwajibkan menyelesaikan pendidikan dari taman kanak-kanak, SD, SMP hingga SMA atau sederajat, muncul kemudianpertanyaan apakah sistem pembagian SMP dan SMA masih relevan. Mengingat bahwa seluruh anak sekarang diwajibkan untuk mengenyam pendidikan hingga akhir SMA, apakah ada manfaat nyata dari mempertahankan pemisahan dua jenjang ini?

Mari kita diskusikan…

Dari sudut pandang efektivitas pembelajaran, pemisahan SMP dan SMA sering kali menciptakan transisi yang tidak selalu mulus bagi siswa. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru, metode pembelajaran yang berbeda, serta tekanan akademik yang semakin meningkat. Jika pendidikan menengah disatukan menjadi satu jenjang selama enam tahun, siswa dapat menjalani pendidikan yang lebih stabil dan terarah tanpa harus mengalami masa transisi yang mengganggu. Selain itu dalam beberapa tahun terakhir, tren kelulusan dengan wisuda, acara perpisahan juga menambah beban biaya orang tua dalam transisi pendidikan ini.

Selain itu, dari perspektif kurikulum, penggabungan SMP dan SMA dapat menciptakan sistem pembelajaran yang lebih fleksibel dan progresif. Saat ini, banyak siswa SMP merasa terjebak dalam materi yang kurang relevan dengan minat dan potensi mereka. Dengan menyatukan pendidikan menengah, sekolah dapat mulai memperkenalkan jalur spesialisasi lebih awal, sehingga siswa dapat lebih fokus pada bidang yang mereka minati sebelum masuk ke perguruan tinggi atau dunia kerja.

Secara ekonomis, model sekolah menengah yang terpisah juga membawa konsekuensi biaya yang lebih besar. Pemerintah harus menyediakan dua jenis sekolah dengan infrastruktur, tenaga pengajar, dan administrasi yang terpisah. Dengan menyatukan SMP dan SMA, alokasi anggaran pendidikan bisa lebih efisien, sehingga dana yang ada dapat lebih difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan guru, dan penyediaan fasilitas pembelajaran yang lebih baik.

Namun, terdapat beberapa tantangan yang perlu dipertimbangkan sebelum menerapkan sistem pendidikan menengah terpadu selama enam tahun. Salah satu kendala utama adalah kesiapan tenaga pendidik dalam mengelola kurikulum yang lebih panjang dan kompleks. Guru yang terbiasa mengajar di SMP mungkin membutuhkan pelatihan tambahan untuk dapat mengajar di jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi hal ini juga menjadi solusi dimana banyaknya mata pelajaran dengan guru yang menguasai bidang, terkadang tidak mendapat jatah waktu mengajar yang maksimal untuk mengajar di sekolah. Sehingga dengan adanya integrasi ini, guru-guru ini dapat dimaksimalkan dan dioptimalkan untuk mengajar.

Selain itu, dari segi psikologi perkembangan anak, masa remaja merupakan periode penting dalam pembentukan identitas dan karakter. Menggabungkan jenjang SMP dan SMA memungkinkan pendekatan pedagogi yang lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa. Jika kedua jenjang ini digabung, diperlukan strategi pendidikan yang lebih adaptif untuk memastikan bahwa kebutuhan emosional dan sosial siswa tetap terpenuhi.

Di beberapa negara, seperti Finlandia dan Jerman, sistem pendidikan menengah lebih fleksibel dengan jalur akademik dan kejuruan yang dapat dipilih lebih awal. Model ini memungkinkan siswa untuk memiliki lebih banyak pilihan berdasarkan minat dan bakat mereka. Indonesia dapat mempertimbangkan adopsi model serupa dengan menyesuaikannya dengan konteks sosial dan budaya yang ada.

Selain itu, penggabungan sekolah menengah juga dapat berdampak pada sistem evaluasi dan kelulusan. Saat ini, ujian nasional telah dihapus, dan evaluasi berbasis kompetensi lebih diutamakan. Dengan sistem menengah terpadu, mekanisme evaluasi harus dirancang ulang agar tidak membebani siswa dengan ujian berjenjang yang terlalu banyak. Sehingga dalam tahapan ujian menengah, hanya perlu 1 kali ujian nasional, yang rencana diadakan kembali, pada tingkatan ke-enam.

Dari segi kesiapan infrastruktur, penyatuan sekolah menengah walaupun memerlukan investasi besar dalam pembangunan sekolah yang dapat menampung siswa selama enam tahun, hal ini dapat lebih mudah dilakukan karena keberadaan sekolah yang sudah ada sebelumnya. Selain itu untuk beberapa wilayah yang persentase keberadaan sekolah dengan populasinya masih kecil. Integrasi ini bisa memberikan solusi, gedung sekolah tidak perlu dibangun dan dapat dikembangkan untuk bisa memfasilitasi dua tingkatan pendidikan ini. Otomatis hal ini memberikan efisiensi dalam biaya pokok pengelolaan sekolah dan penyediaan prasarana pokok sekolah. Saat ini, banyak sekolah menengah di Indonesia yang masih kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik, bisa jadi karena tidak efisiennya operasional. Sehingga jika sistem terpadu ini dapat diterapkan tanpa persiapan yang matang, kita harapkan kualitas kegiatan belajar siswa meningkat, kesejahteraan guru juga dapat lebih baik.

Jika sistem ini diterapkan dengan baik, siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang lebih kohesif dan mendalam. Dengan jalur pendidikan menengah yang lebih panjang dan terintegrasi, siswa tidak hanya mendapatkan dasar akademik yang kuat, tetapi juga pelatihan keterampilan yang lebih baik sebelum masuk dunia kerja atau perguruan tinggi. Pengembangan kurikulum juga dapat lebih sistematis dan terukur untuk dipersiapkan meneruskan ke tingkatan yang lebih tinggi.

Kebijakan pendidikan harus selalu berorientasi pada kebutuhan masa depan. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola kerja global, pendidikan harus mampu menyiapkan generasi muda dengan keterampilan yang relevan dan adaptif. Jika model sekolah menengah terpadu selama enam tahun dapat mendukung tujuan ini, maka kebijakan tersebut layak untuk dikaji lebih lanjut.

Tentu saja, perubahan sistem pendidikan tidak bisa dilakukan secara instan. Dibutuhkan penelitian mendalam, uji coba, serta kesiapan dari berbagai pihak, termasuk guru, siswa, orang tua, dan pemangku kebijakan. Perlu dicoba dengan mengintegrasikan sekolah-sekolah yang berdekatan, dan melakukan integrasi secara bertahap. Selain itu yang paling mudah dilakukan adalah integrasi sistem administasi dalam sistem administrasi pendidikan nasional yang menjadi acuan secara umum, baik terhadap kualitas ataupun jam kerja guru. Insyaallah, dengan perencanaan yang matang, upaya integrasi ini dapat menghadirkan sistem pendidikan menengah yang lebih efisien dan efektif. Apapun itu harapan kita kebijakan ini harus dikaji secara menyeluruh agar benar-benar dapat meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Artikel asli: https://darulfunun.id/insight/policy-initiatives-collaborative-engagement/20250215-jika-wajib-belajar-13-tahun-kenapa-sekolah-menengah-tidak-disatukan-menjadi-6-tahun

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button