Kepemimpinan yang Quwwah dalam Islam


Segala puji bagi Allah, tuhan Yang Maha Adil, yang menetapkan dengan sempurna kebaikan dalam setiap ketetapan-Nya. Shalawat serta salam kepada pemimpin yang adil, penutup para nabi, Muhammad SAW, serta sahabat dan yang meneladaninya hingga hari kiamat.
Setiap orang yang merasa memiliki keunggulan sering kali menganggap dirinya layak menjadi pemimpin. Hal ini normatif. Kata quwwah berarti kuat, walaupun begitu dalam Islam pemaknaan quwwah bukan sekedar kuat dalam artinya yang sederhana. Di dalam Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar ambisi pribadi atau sekadar memiliki kekuatan ataupun keunggulan duniawi. Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang menuntut keseimbangan antara kekuatan duniawi dan pemahaman agama yang mendalam. Seorang pemimpin tidak hanya harus cakap dalam urusan dunia, tetapi juga memiliki tekad keimanan yang kuat agar mampu menjalankan kepemimpinan dengan penuh tanggung jawab dan keadilan.
Sebagaimana ikan segar terlihat dari kepalanya, dan air yang mengalir dari hulu banda, demikian pula kepemimpinan dalam Islam harus bermula dari pemahaman yang benar tentang nilai-nilai agama. Pemimpin yang baik bukan hanya menguasai aspek administratif atau strategi duniawi, tetapi juga memahami prinsip-prinsip keimanan, keislaman, dan ihsan. Dengan pemahaman ini, seorang pemimpin akan mampu menuntun rakyatnya menuju kebaikan dan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam Islam, kepemimpinan bukan hanya tentang mengatur dan memerintah, tetapi juga tentang memperjuangkan dan mencontohkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian.” (HR. Muslim)
Seorang pemimpin harus memahami perbedaan antara kewajiban individu (fardhu ‘ain) dan kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Fardhu ‘ain adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh setiap individu, seperti ibadah, shalat dan puasa, sedangkan fardhu kifayah adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh sebagian kaum Muslimin agar tidak terjerumus dalam dosa seluruhnya, seperti kepemimpinan, pendidikan, dan pertahanan negara. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam harus memahami bahwa perannya adalah untuk menjalankan fardhu kifayah dengan penuh kesungguhan demi kemaslahatan umat. Pemimpin yang jahil justru akan menjerumuskan dirinya dan masyarakatnya dengan kedzaliman, rugi dunia dan akhirat.
Namun begitu juga sebaliknya, kepemimpinan tidak dapat diamanahkan kepada seseorang yang hanya menguasai ilmu agama tetapi lemah dalam aspek duniawi. Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan dalam kepemimpinan, dalam hadistnya beliau katakan: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang mukmin yang kuat lebih daripada mukmin yang lemah, meskipun keduanya memiliki kebaikan.” (HR. Muslim)
Pemimpin yang baik harus memiliki fisik yang kuat, kecakapan dalam mengelola urusan dunia, serta kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat. Sebab, banyak amal shalih yang sifatnya fardhu kifayah hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki tekad keimanan yang kuat dalam visinya sekaligus dianugerahi Allah keunggulan dalam urusan dunia. Seorang pemimpin harus mampu melindungi rakyatnya, mengelola sumber daya dengan baik, dan memastikan kesejahteraan masyarakat terpenuhi dengan adil.
Dalam Al-Quran, Allah SWT memuji Nabi Daud AS sebagai seorang pemimpin yang kuat dan bijaksana: “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (pemimpin) di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Sad: 26)
Ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan harus dilandasi oleh keadilan dan kebenaran, serta tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu. Keseimbangan antara kekuatan duniawi dan pemahaman agama adalah kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam menegakkan keadilan.
Seorang pemimpin juga harus memiliki visi dan strategi dalam membangun masyarakat. Kepemimpinan bukan sekadar menjalankan tugas administratif, tetapi juga menciptakan sistem yang mendukung kebaikan bersama. Oleh karena itu, pemimpin dalam Islam tidak hanya berpikir untuk kepentingan sesaat, tetapi juga merancang kebijakan yang berdampak jangka panjang bagi kesejahteraan umat.
Kepemimpinan yang baik juga menuntut sifat amanah. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)
Pemimpin yang amanah tidak akan menyalahgunakan wewenangnya untuk kepentingan pribadi. Sebaliknya, ia akan menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya.
Sebagai umat Islam, kita harus memahami bahwa kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, pemimpin yang baik adalah mereka yang kuat dalam urusan dunia, tetapi juga memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan baik.
Semoga kita semua dapat meneladani kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para pemimpin yang adil, serta selalu berusaha menjadi pemimpin yang amanah dalam lingkup kehidupan kita masing-masing. Aamiin.
Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/ibrah/20250313-kepemimpinan-yang-quwwah-dalam-islam