Indonesia dan Malaysia Kecewa atas Veto AS terhadap Keanggotaan Palestina di PBB
Indonesia dan Malaysia mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB, yang menghalangi Palestina dari menjadi anggota penuh PBB. Veto ini dilakukan saat pemungutan suara terhadap rancangan resolusi yang diajukan oleh Aljazair, mendapatkan dukungan dari 12 negara dengan dua abstain dari Inggris dan Swiss.
Kementerian Luar Negeri Indonesia, dalam sebuah pernyataan di media sosial X, menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan PBB yang terjadi akibat veto tersebut, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap aspirasi bersama untuk menciptakan perdamaian jangka panjang di Timur Tengah. Indonesia menegaskan kembali dukungannya terhadap keanggotaan penuh Palestina di PBB, yang dianggap akan memberikan kedudukan yang setara bagi Palestina dalam proses perdamaian dan mencapai solusi dua negara.
Malaysia, melalui Kementerian Luar Negeri Malaysia (Wisma Putra), juga mengungkapkan kekecewaan mendalam atas penggunaan hak veto oleh AS. Wisma Putra menekankan bahwa tindakan AS tersebut memunculkan pertanyaan serius mengenai komitmen negara-negara anggota Dewan Keamanan dalam mewujudkan hak-hak rakyat Palestina, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mendesak masyarakat internasional untuk terus mendukung keanggotaan penuh Palestina di PBB.
Kemajuan Palestina menuju keanggotaan penuh telah terhambat sejak mendapatkan status negara pengamat pada tahun 2012. Keanggotaan penuh diperlukan untuk Palestina agar dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam pemungutan suara dan kegiatan lainnya di PBB.
Situasi ini semakin kompleks mengingat serangan mematikan Israel di Jalur Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023, setelah serangan lintas batas oleh kelompok Hamas. Kepresidenan Palestina mengutuk veto AS, menganggapnya sebagai pelanggaran hukum internasional yang mendukung kebijakan agresif Amerika dan Israel terhadap Palestina dan hak-hak rakyatnya.
Pertemuan Dewan Keamanan PBB yang berlangsung di New York pada 18 April adalah momen kritis di mana komunitas internasional diuji keinginannya untuk mendukung perdamaian dan keadilan. Namun, dengan adanya veto dari AS, upaya tersebut mengalami hambatan serius, memperjelas kontradiksi dalam kebijakan AS yang mengklaim mendukung solusi dua negara namun secara praktis mencegah implementasinya melalui penggunaan veto berulang-ulang.