Bagaimana Israel Menjadikan IDF Sebagai Kelompok Militer Radikal
Perang selalu memberikan dampak besar kepada penduduk sipil yang tidak bersalah, sehingga upaya militer seharusnya dilakukan dalam tempo singkat dan tidak berlarut-larut untuk menghindari penderitaan berkepanjangan. Namun, kondisi yang terjadi di Gaza dan Tepi Barat menunjukkan bagaimana konflik ini justru menjadi ajang kekerasan tanpa batas oleh Israel, dengan penduduk Palestina menjadi korban utama. Salah satu faktor yang membuat konflik ini semakin sulit dihentikan adalah radikalisasi Israel Defense Forces (IDF) yang, alih-alih menjaga keamanan, justru melakukan tindakan ekstrem yang menambah ketidakstabilan dan menimbulkan krisis kemanusiaan berkepanjangan.
Di sisi lain, Israel bahkan memberdayakan tentara bayaran secara tidak etis untuk mengatasi konflik dalam negeri. Tindakan ini menunjukkan bahwa Israel lebih memilih solusi yang mengutamakan kekuatan militer tanpa mempedulikan etika. Dengan memanfaatkan tentara bayaran dalam situasi domestik, Israel dianggap mengabaikan upaya perdamaian dan solusi damai, serta memperkeruh citranya di mata dunia. Tindakan ini mencerminkan bagaimana Israel semakin mengandalkan strategi yang lebih radikal dan konfrontatif untuk menekan pihak yang dianggap sebagai musuh, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya bagi stabilitas regional.
Dalam konteks internasional, Israel juga kerap kali menunjukkan ketidaksukaannya terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan internasional yang mencoba memberikan bantuan di wilayah-wilayah konflik. Dengan tindakannya yang seringkali menghalangi bantuan kemanusiaan, Israel secara tidak langsung mengirimkan pesan negatif kepada dunia internasional. Hal ini semakin mencoreng citra Israel dan menambah persepsi bahwa negara tersebut semakin jauh dari prinsip-prinsip perdamaian. Perlakuan negatif terhadap lembaga-lembaga kemanusiaan ini semakin mempertegas citra radikal dari IDF dan kebijakan Israel yang cenderung menekan hak asasi manusia di wilayah konflik.
Radikalisasi IDF sendiri tidak terlepas dari meningkatnya pengaruh kelompok nasionalis religius dalam struktur militer dan politik Israel. Kelompok-kelompok ini menganggap tanah Palestina sebagai hak ilahi yang harus dipertahankan, dengan segala cara, termasuk tindakan kekerasan ekstrem. Sejak Perang Enam Hari pada tahun 1967, banyak anggota nasionalis religius mulai memasuki IDF dan memperkuat pengaruhnya di seluruh jajaran militer. Saat ini, kelompok ini mencapai 40% dari total pasukan IDF, angka yang signifikan dibandingkan dengan masa lalu. Peningkatan ini membuat IDF berubah dari sekadar kekuatan pertahanan menjadi institusi militer dengan doktrin yang diwarnai oleh pandangan religius yang ekstrem.
Dengan radikalisasi yang terus meningkat, IDF kini menjadi instrumen utama yang digunakan kelompok nasionalis religius untuk mencapai agenda mereka. Ketika Israel terus melakukan serangan ke Gaza dan mengabaikan lembaga-lembaga internasional, IDF secara tidak langsung memperlihatkan perubahan drastis dalam taktik dan strategi militernya. IDF tidak hanya menunjukkan radikalisme dalam operasinya, tetapi juga dalam cara berpikirnya, menjadikan segala cara “halal” untuk mencapai tujuan, bahkan jika itu berarti mengabaikan norma-norma internasional. Tindakan ekstrem ini tidak hanya merugikan rakyat Palestina, tetapi juga membuat masa depan politik Israel semakin terancam oleh konflik internal yang kian memanas antara militer dan pemerintahan yang lebih liberal.
Baca juga: How IDF became radicalized military group | Opinion