Indonesia dan Mesir Sahabat Sepanjang Masa


Syekhul Azhar Asy-Sharif (Grand Syekh) Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir, Al-Ma’ali Al-Imam Al-Akbar Al-Ustadz Prof. Dr. Ahmed Muhammad Ahmed Al-Tayeb telah menyelesaikan agenda kunjungannya selama 4 hari di Indonesia (8 – 11 Juli 2024). Ini adalah kunjungan ketiga, setelah dua kunjungan terdahulu tahun 2016 dan 2018.
Kunjungan Grand Syekh Al-Azhar ke Indonesia tahun ini berlangsung satu bulan menjelang Republik Indonesia memperingati Hari Ulang Tahun Ke-79 Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2024. Mesir sering disebut sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Syekh Ahmed Al-Tayeb diterima sebagai tamu kehormatan oleh Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pada hari kedua kunjungannya tanggal 9 Juli 2024, beliau menyampaikan Kuliah Umum dengan topik moderasi beragama di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam orasinya di UIN Syarif Hidayatullah, Syekh Ahmed Al-Tayeb antara lain mensinyalir soal perpecahan, perselisihan dan permusuhan internal di kalangan umat Islam. Menurutnya, peradaban Islam memiliki sejarah yang unggul, namun kemudian berubah belakangan ini hingga menjadi peradaban yang mengemis pada Barat baik dalam filsafat, kebudayaan metodologi pengajaran dan pendidikan, sosial dan ekonomi. Seolah-olah umat Islam adalah bangsa terbelakang yang sudah usang dan terkubur sejarah, serta tidak pernah mengalami masa-masa kejayaan ilmu, adab, filsafat, syariat, sejarah dan seni.
Agenda lainnya, kunjungan ke Pusat Studi Quran (PSQ) yaitu lembaga yang digagas oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dan berkunjung ke Pesantren Darunnajah, Ulujami Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Kehadiran delegasi Grand Syekh Al-Azhar di Indonesia juga dimanfaatkan oleh Kementerian Agama untuk meresmikan peluncuran pembangunan Markaz Tathwir Ta’lim At-Thullab Al-Wafidin Wa Al-Ajanib atau Pusat Pengembangan Pendidikan Mahasiswa Asing Al-Azhar Cabang Indonesia. Prosesi peresmian dilakukan oleh Direktur Markaz Tathwir Universitas Al-Azhar Prof. Dr. Nahla Sabry El-Seidy di Auditorium H.M. Rasjidi Gedung Kementerian Agama Jalan M.H. Thamrin No 6 Jakarta.
Sementara itu, dalam sesi pertemuan Grand Syekh dengan pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), diserahkan infak kemanusiaan senilai USD 2 juta atau sekitar Rp 32 miliar untuk rakyat Palestina melalui Bayt Zakat wa As-Shadaqat, sebuah lembaga sosial di bawah naungan Grand Syekh Al-Azhar. Syekh Ahmed Al-Tayeb mengapresiasi komitmen BAZNAS yang mengirim bantuan untuk bangsa Palestina. Syekh Ahmed Al-Tayeb juga menghadiri sesi pertemuan dengan pimpinan Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Pada hari terakhir lawatannya di Indonesia, Grand Syekh Al-Azhar Syekh Ahmed Al-Tayeb mengadakan kunjungan, silaturahmi dan dialog dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Menteng Raya No 62 Jakarta Pusat. Dalam kesempatan itu Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir menyerahkan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) 1446 Hijriyah kepada Grand Syekh Al-Azhar.
Pertemuan dan dialog Grand Syekh Al-Azhar di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah dihadiri Ketua Umum dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah beserta jajaran PP Muhammadiyah, pimpinan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. M. Din Syamsuddin, tokoh ulama Prof. Dr. M Quraish Shihab, Tuan Guru Bajang Dr. Muhammad Zainul Majdi (Ketua Organisasi Internasional Alumni Al- Azhar Cabang Indonesia), Sekretaris Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), perwakilan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan lain-lain. Dalam dialog bertajuk “Peran Al-Azhar dan Muhammadiyah dalam Penyebaran Wasatiyah Islam dan Mewujudkan Perdamaian Dunia”, Grand Syekh Al- Azhar menyampaikan, “Umat Islam sangat berutang jasa kepada Muhammadiyah, sehingga Muhammadiyah berhak atas penghargaan internasional Zayed Award.”
Mesir dan Kemerdekaan Indonesia
Republik Arab Mesir mengisi tempat khusus dalam lembaran perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya di bidang diplomasi sebagai ujung tombak perjuangan. Dalam risalah Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia – Mesir Tahun 1947, dimuat dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984), mantan Menteri Muda Penerangan A. R. Baswedan menulis catatan sejarah sebagai berikut:
“Matahari musim semi menyambut kami ketika melandas di lapangan terbang Kairo 10 April 1947. Airport terasa sibuk. Kami berempat, Haji Agus Salim, Dr. Mr. Nazir St Pamuncak, Rasjidi (sekarang Prof. Dr. H. Rasjidi) dan saya, turun. Dengan menjinjing aktentas sederhana yang kuncinya sering macet dan berbekal secarik kertas kumal keluaran Kementerian Luar Negeri dengan tulisan “Surat Keterangan Dianggap Sebagai Paspor”, kami meninggalkan pesawat menuju ruang imigrasi. Berdesak di antara sekian banyak penumpang yang berpakaian rapi, saya cuma mengenakan pakaian biasa – itu seragam perjuangan yang terkenal, setelan kain khakik dan sepatu sandal lusuh. Pegawai imigrasi, tinggi besar dengan kumis melintang mengamati ‘paspor’ kami. Roman mukanya agak berkerinyut, dan Haji Agus Salim cepat memberi keterangan bahwa kami adalah anggota delegasi Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia, begitu kata beliau. Petugas itu mengangkat bahu, rupanya ia tak pernah belajar ilmu bumi tentang Indonesia.”
A.R. Baswedan melanjutkan catatan pengalamannya, “Are you Moslem? mendadak dia bertanya, ‘Yes!’ jawab kami serentak. Jawaban yang spontan seperti pada paduan suara, sehingga kami berempat saling berpandangan sampil tertawa. Petugas itu mungkin telah melihat nama-nama yang tertera di surat itu bernafaskan Islam. ‘Well, then, Ahlan Wa Sahlan. Welcome!” ucapnya. Tanpa banyak cingcong, tanpa melihat surat-surat lagi atau periksa memeriksa tas, kami dipersilakan lewat. Beberapa menit kemudian muncul di ruang tunggu Sekjen Liga Arab, Azzam Pasha, dan beberapa mahasiswa Indonesia.”
Pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Republik Indonesia merupakan pengakuan pertama dari dunia internasional. Selanjutnya, disusul pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Saudi Arabia diserahkan langsung oleh Raja Abdul Aziz Al Su’ud dan diterima oleh H.M. Rasjidi di Istana Raja di Riyadh pada 24 November 1947. Negara-negara Arab lainnya yang mengakui kemerdekaan Indonesia dalam tahun 1947/1948, ialah Suriah, Yordania, Irak, Lebanon, Yaman, dan Afghanistan. Sampai Desember 1949 hanya negara-negara Arab yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure.
Dalam periode itu, dukungan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia tidak sekadar pengakuan de facto dan de jure saja, tetapi lebih jauh kedua negara mengadakan Perjanjian Persahabatan pada 10 Juni 1947. Perjanjian persahabatan yang mencakup hubungan diplomatik dan perdagangan ditanda-tangani di Cairo oleh Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Mesir Mahmud Fahmi Nokrasyi Pasha dan Menteri Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim. Dalam catatan sejarah, H.M. Rasjidi, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, pada 1950-1952 diangkat menjadi Duta, waktu itu belum ada istilah Duta Besar, untuk Mesir merangkap Saudi Arabia.
Ulama Indonesia dan Universitas Al-Azhar
Universitas Al-Azhar puluhan abad menjadi “kiblat ilmu” bagi umat Islam di seluruh penjuru dunia. Sepanjang sejarah gemilangnya lebih dari 1.000 tahun, Universitas Al-Azhar bertransformasi dari sistem tradisional ke sistem modern di awal abad XX. Perubahan dan pembaharuan di Al-Azhar dicetuskan oleh Mohammad Ali Pasha, Syekh Mohammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha.
Selain di bidang diplomatik, persahabatan intelektual antara ulama Indonesia dengan Al-Jami’ah (universitas) Al-Azhar telah berlangsung lama. Sejak abad XIX, Mesir merupakan salah satu tujuan utama pemuda Indonesia yang ingin menambah ilmu pengetahuan Islam, di samping Arab Saudi. Kitab-kitab karya “Ulama Al-Azhar” menjadi bacaan para pelajar perguruan agama dan pondok pesantren, terutama yang berhaluan modernis, misalnya Tafsir Al-Manar karya Muhammad Rasyid Ridha yang disusun sesuai pola pemikiran gurunya Syekh Mohammad Abduh. Selain itu, buku-buku karya ulama Al-Azhar lainnya, seperti Syekh Mustafa Al-Maraghi, Syekh Mahmoud Syaltut, Syekh Abdul Halim Mahmud, Sayyid Sabiq, Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi, dan lain-lain, tidak asing lagi bagi masyarakat muslim Indonesia khususnya peminat literasi.
Pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan menyerap ide-ide tajdid atau pembaharuan dari tokoh Al-Azhar yakni Syekh Mohammad Abduh. Pada tahun 1926 Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada dua orang ulama pembaharu dari Minangkabau yaitu Syekh Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Prof. Dr. Hamka) dan Haji Abdullah Ahmad. Dr. H. Abdul Karim Amrullah adalah pendiri Sumatera Thawalib atau Thawalib School Padang Panjang dan Dr. H. Abdullah Ahmad adalah pendiri Perguruan Adabiah Padang.
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, tokoh pembaharu pendidikan Islam, penulis Tafsir Al-Quran pertama dalam bahasa Indonesia dan juga perintis Institut Agama Islam Negeri Al-Jam’iah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah (IAIN/UIN),memperoleh ijazah Syahadah Alimiyah dari Universitas Al-Azhar Cairo dan menamatkan diploma guru (ijazah tadris) dari Universitas Darul Ulum Cairo tahun 1930.
Setelah Indonesia merdeka, Universitas Al-Azhar menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada dua orang tokoh ulama Indonesia, yaitu K.H. Idham Chalid (1957) dan Hamka (1959). K.H. Dr. Idham Chalid adalah mantan Wakil Perdana Menteri dan Ketua Umum PBNU, dan Prof. Dr. Hamka adalah Pemuka Muhammadiyah, pujangga muslim dan juga Ketua Umum Pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pidato ilmiah Hamka sewaktu akan menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar berjudul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Al-Ustadz Al-Imam Syekh Mohammad ‘Abduh di Indonesia”. Kepala Jawatan Kebudayaan Muktamar lslami di Mesir Al-Ustadz Muhammad Haibah waktu itu menerangkan betapa kuat dan kokohnya hubungan kebudayaan di antara negara-negara Islam, terutama antara Mesir dan Indonesia sejak dahulu sampai sekarang, dan ia merasa gembira dapat memperkenalkan AI-Ustadz Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), seorang di antara pemimpin dan pembimbing cita-cita Islam di Indonesia.
Rektor Universitas Al-Azhar Dr. Syekh Abdurrahman Taj tahun 1955 mengunjungi Indonesia dan meninjau Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat. Rektor terkesan dengan sistem pendidikan Diniyyah Puteri karena di Mesir belum ada perguruan khusus untuk perempuan. Pendiri dan pemimpin Diniyyah Puteri Hj. Rahmah El Yunusiyyah diundang ke Universitas Al-Azhar untuk membentangkan pengalamannya membangun pendidikan Islam di Indonesia.
Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang menginspirasi Universitas Al-Azhar Cairo sehingga mendirikan “Kulliyatul Banat” yakni fakultas khusus untuk perempuan. Universitas Al-Azhar memberi gelar kehormatan “Syaikhah” kepada Rahmah El Yunusiyyah. Satu-satunya ulama perempuan yang pernah mendapat gelar Syaikhah dari Al-Azhar ialah Rahmah El Yunusiyyah.
Grand Syekh Al-Azhar Prof. Dr. Syekh Mahmoud Syaltout dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 1961 mengunjungi Masjid Agung Kebayoran Baru Jakarta yang waktu itu baru selesai dibangun. Kehadiran Syekh Mahmoud Syaltout disambut hangat oleh Buya Hamka selaku Imam Besar dan jamaah Masjid Agung.
Syekh Mahmoud Syaltout menghadiahkan nama “Al-Azhar” untuk Masjid Agung Kebayoran Baru. Al-Azhar artinya bersinar, memancarkan cahaya terang. Dalam pidatonya Mahmoud Syaltout mengatakan, “Mulai hari ini, saya sebagai Syekh dari Jami’ Al-Azhar, memberikan bagi masjid ini nama Al-Azhar, moga-moga dia menjadi Al-Azhar di Jakarta, sebagaimana adanya Al-Azhar di Cairo.”
Buku-buku terjemahan karya Syekh Mahmoud Syaltout, seperti Fatwa-Fatwa, Tuntunan Islam, dan Islam Sebagai Aqidah dan Syariah, penerbit Bulan Bintang, diminati pembaca Indonesia. Buku-buku tersebut diterjemahkan oleh Prof. Bustami Abdul Gani dan Prof. Zaini Dahlan, keduanya alumni Al-Azhar Cairo. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga) menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada Grand Syekh Al-Azhar Syekh Mahmoud Syaltout dengan promotor Prof. Mukhtar Yahya.
Salah seorang ulama Indonesia, penulis Tafsir Al-Quran (Tafsir Rahmat) H. Oemar Bakry tanggal 22 November 1983 mendapat kesempatan menyampaikan ceramah (muhadharah) di Universitas Al-Azhar Cairo dengan topik Tafsir Rahmat dan Perkembangan Tafsir di Indonesia. Dalam autobiografi H. Oemar Bakry Dari Thawalib Ke Dunia Modern diceritakan,ceramah di auditorium Mohammad Abduh dihadiri lebih kurang 1.500 undangan, mendapat sambutan dan tanggapan baik sekali dari Rektor Universitas Al-Azhar Doktor Muhammad Sa’di Farhuut dan Grand Syekh Al-Azhar Jad Al-Haq ‘Ala Jad Al-Haq.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama sejak dekade 60-an memfasilitasi pengiriman mahasiswa untuk belajar di luar negeri, antara lain ke Universitas Al-Azhar Cairo. Malahan sejak pra-kemerdekaan maupun awal kemerdekaan, telah banyak pemuda Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke Mesir. Program kerjasama dengan Universitas Al-Azhar terus berlanjut sampai sekarang.
Dalam kerjasama kontemporer Indonesia dengan Universitas Al-Azhar, Kementerian Agama sejak lama memiliki program pengiriman mab’uts (tenaga pengajar) dari Universitas Al-Azhar yang ditugaskan mengajar di sejumlah lembaga pendidikan di Indonesia, yaitu perguruan tinggi, madrasah dan pondok pesantren. Pada waktu permulaan berdirinya PTAIN Yogyakarta, salah seorang guru besar terbaik dari Mesir yakni Prof. Syekh Ahmad Syalaby pernah sekian tahun menjadi dosen tamu PTAIN (sekarang UIN).
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta membuka Fakultas Dirasat Islamiyah yang merupakan replika Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Al-Azhar Cairo. Kurikulum dan mutu akademiknya disetarakan dengan Universitas Al-Azhar, dan hampir seluruh dosennya adalah alumni Al-Azhar dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
Saat ini terdapat 15 ribu mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar Cairo. Mereka adalah penerima manfaat beasiswa dan manfaat wakaf pendidikan Al-Azhar. Para alumni Universitas Al-Azhar memiliki wadah perhimpunan yaitu Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) yang memiliki cabang di berbagai negara, termasuk OIAA Cabang Indonesia.
Setelah periode Syekhul Azhar Prof. Dr. Mahmoud Syaltout, pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar yang berkunjung ke Indonesia, ialah Syekh Abdul Halim Mahmud (1976). Syekh Prof. Dr. Abdul Halim Mahmud yang wafat tahun 1978 pernah bersilaturahmi kepada ulama Indonesia Prof. Dr. Hamka di kediamannya Jalan Raden Patah III/1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan dalam kunjungannya di Indonesia selaku Grand Syekh Al-Azhar. Grand Syekh (Syekhul Azhar) berikutnya yang pernah menjadi tamu resmi pemerintah Indonesia ialah Syekh Jad Al-Haq ‘Ala Jad Al-Haq (1995), Syekh Muhammad Sayyid Al-Tantawi (2006), dan Syekh Muhammad Ahmed Al-Tayeb yang menjabat saat ini.
Kedatangan dan kepulangan Grand Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayeb disambut dan dilepas oleh Menteri Agama RI di Bandar Udara Soekarno-Hatta Jakarta, Tangerang Banten, atas nama pemerintah Republik Indonesia. Kepada Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Grand Syekh Ahmed Al-Tayeb, mengaku senang dan puas berkunjung ke Indonesia karena mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia, tidak hanya muslim, tapi juga umat dari berbagai agama.
Indonesia dan Mesir adalah sahabat sepanjang masa.
Ma’assalamah wa ilalliqaa’ Biidznillah.
sumber: https://fuadnasar.wordpress.com/2024/07/15/indonesia-dan-mesir-sahabat-sepanjang-masa/
Artikel asli: https://darulfunun.id/insight/islamic-studies-civilization/20240717-indonesia-dan-mesir-sahabat-sepanjang-masa