Tanggung Jawab Moral Kaum Intelektual
Kemajuan suatu bangsa tidak lepas dari peran kaum intelektual. Intelektual atau kadang disebut cendekiawan dalam Al Quran diungkap dengan kata “ulul albab”. Mohammad Natsir mengatakan, makna ulul albab yakni orang yang mempunyai daya pikir, daya tanggap yang peka, daya banding yang tajam, daya analisa yang tepat, serta daya cipta yang orisinil.
Di masa lampau ketika sebagian besar rakyat Indonesia masih berselimut kebodohan dan keterbelakangan, sejarah mencatat peran kaum terpelajar dan intelektual yang membukakan mata rakyat Indonesia tentang hak hidup sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat di negeri sendiri. Dalam kacamata sosiologis, peran kaum intelektual dalam sejarah pergerakan bangsa Indonesia sejak zaman kolonial dapat dikelompokkan dalam dua kategori, Pertama, intelektual yang kiprah dan pemikirannya berpijak pada cita-cita keagamaan, terutama intelektual muslim, dan Kedua, intelektual yang netral agama. Mereka semua punya peran dan kontribusi dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.
Pembangunan bangsa dan negara di segala bidang memerlukan peran dan tanggungjawab kaum intelektual. Bangsa ini, dari generasi ke generasi, seharusnya membangun budaya yang menghargai peran kaum intelektual yang mencintai negara dengan amal perbuatan serta membuktikan kepedulian terhadap nasib bangsa. Seorang intelektual sejati dalam kondisi apa pun tetap konsisten mengamalkan ilmunya dan bekerja “demi bangsa”, bukan sekadar “mengatas-namakan bangsa”, dan bukan pula menjadi “intelektual tukang” yang bekerja sesuai pesanan. Seorang intelektual sejati takkan mengkhianati ilmunya walau dibayar berapa pun, apalagi mengkhianati bangsa dan negaranya.
Kemajuan bangsa dalam kehidupan politik dan demokrasi memerlukan referensi intelektual dan panduan moral. Tanpa itu politik hanya akan menjadi rangkaian proses untuk mengejar dan mempertahankan kekuasaan belaka. Bahkan politik bisa menjadi industri yang menguntungkan buat kaum kapitalis. Politisi tanpa wawasan intelekual akan membuat dunia politik kering dari visi kenegarawanan.
Bangsa Indonesia saat ini– kata Bambang Sulistomo – putra pahlawan nasional Bung Tomo, bukan mengalami “trisakti” seperti dicetuskan Bung Karno, tapi “trisakit”, yaitu sakit di bidang mental ideologi, sakit di bidang ketergantungan hutang ekonomi, dan sakit di bidang etika dan moral bernegara.
Dalam kaitan itu ada baiknya direnungkan pidato bapak bangsa Dr. Mohammad Hatta pada Hari Alumni I Universitas Indonesia tanggal 11 Juni 1957 berjudul Tanggung Jawab Moril Kaum Inteligensia, sebagai berikut: “Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Kurang kecerdasan dapat diisi, kurang karakter sukar memenuhinya, seperti ternyata dengan berbagai bukti di dalam sejarah. Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, akan tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh dengan begitu saja. Saya ingin melihat kaum inteligensia Indonesia menunjukkan tanggungjawab morilnya terhadap usaha-usaha pembangunan negara dan masyarakat kita, dengan berpedoman kepada cinta akan kebenaran, yang menjadi sifat bagi orang berilmu.”
Dalam perspektif Islam, sebuah ayat dalam Al Quran menjelaskan, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak, dan tak ada yang dapat menerima pelajaran ini kecuali orang-orang yang berakal.” (QS Al Baqarah [2]: 269).
Sudah menjadi keniscayaan bahwa kedudukan yang lebih tinggi membawa tanggungjawab lebih besar. Setiap kelebihan ilmu, harta, atau kekuasaan adalah amanah dan ujian, apakah seseorang menggunakannya sebagai sarana untuk taat kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama manusia, atau sebaliknya. Semua itu pasti akan ditanya di Hari Akhir. Oleh karena itu dalam ucapan tahniah dan selamat kepada keluarga, saudara, sahabat atau sejawat yang menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi selalu kita menghaturkan doa semoga ilmunya bermanfaat.