Barat (Amerika dan Eropa) yang seringkali dianggap sebagai standar moral dan etika global, dipertanyakan sikapnya saat ini karena berperan dalam menunda-nunda terwujudnya proses gencatan senjata di wilayah konflik Gaza. Kita sering lupa sebetulnya sikap-sikap negara barat itu adalah berkaitan dengan perannya dalam konteks politik dan militer di kawasan tersebut. Faktor-faktor kepentingan ini lah yang sebetulnya mempengaruhi keputusan dan sikap mereka.
Dalam diskusi global mengenai politik internasional, konsep moralitas sering kali menjadi titik sentral. Moralitas Barat, yang sering dianggap sebagai standar dalam menilai kebenaran dan keadilan, menghadapi tantangan ketika dihadapkan pada krisis-krisis internasional. Pertanyaan tentang sejauh mana negara-negara Barat benar-benar mengikuti prinsip-prinsip moral yang mereka promosikan menjadi semakin relevan saat ini.
Moralitas Barat berakar pada tradisi filsafat Yunani, hukum Romawi, dan nilai-nilai Kristen. Selama berabad-abad, konsep ini telah berevolusi, mempengaruhi segala aspek dari politik hingga hak asasi manusia. Namun, sejarah kolonialisme, kapitalisasi tuan tanah dan kebijakan luar negeri yang terkadang kontradiktif menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi penerapan nilai-nilai ini.
Dalam konteks diplomasi dan kebijakan luar negeri, negara-negara Barat sering kali dihadapkan pada dilema moral. Di satu sisi, mereka mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia, sementara di sisi lain, sering kali menjalin hubungan dengan rezim-rezim yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut demi kepentingan politik dan ekonomi.
Bagaimana kepentingan geopolitik negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, mempengaruhi sikap dan kebijakan mereka terhadap konflik ini. Hal ini termasuk tentang hubungan diplomatik dan militer Barat dengan Israel, serta dampaknya terhadap Palestina. Hingga sampai saat ini berkali-kali sidang PBB mengenai gencatan senjata selalu dihadang oleh veto amerika serikat dan negara barat lainnya yang keberatan dengan gencatan senjata.
Peran negara-negara Barat dalam diplomasi internasional, termasuk didalamnya bagaimana mereka menggunakan pengaruhnya di forum-forum internasional seperti PBB sangat dipertanyakan. Apakah sebetulnya PBB digunakan sebagai sarana unutk membangun perdamaian dunia ataukah PBB adalah sarana untuk mendukung kepentingannya terhadap negara lain.
Ketika terjadi krisis kemanusiaan, seperti konflik bersenjata atau pelanggaran hak asasi manusia seperti yang saat ini terjadi di Gaza, respons negara-negara Barat sering kali diukur sebagai tolok ukur moralitas mereka. Pertanyaan muncul mengenai seberapa cepat dan efektif mereka merespons, serta motivasi di balik intervensi mereka.
Era kapitalisme dan globalisasi membawa tantangan baru terhadap moralitas Barat. Walaupun dalam sejarah era tuan tanah berhasil direformasi, akan tetapi bentuk kapitalisme itu terus tumbuh dan bermetamorfosa. Pertumbuhan ekonomi dan keuntungan menjadi hal yang prioritas, yang terkadang mengorbankan nilai-nilai seperti keadilan sosial dan lingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana nilai-nilai moral masih dipegang teguh.
Media Barat memiliki peran signifikan dalam membentuk opini publik. Cara mereka melaporkan tentang krisis internasional sering kali mencerminkan dan mempengaruhi pandangan moral masyarakat. Namun, bias dan agenda tertentu dalam pelaporan media seperti di Palestina dapat memutarbalikkan realitas, mempengaruhi persepsi publik terhadap isu-isu moral dan tidak membangun narasi konstruktif yang membawa perdamaian. Berapa banyak jurnalis yang tewas dari situasi perang yang tidak benar-benar adalah situasi perang. Situasi perang ini lebih nampak seperti di kondisikan atau adalah propaganda yang sangat buruk, karena menghadapai penduduk sipil dan saat ini bahkan disebut sebagai proses genosida pembersihan etnik.
Negara-negara Barat sering kali terlibat ataupun membiarkan perusahan-perusahaan swastanya terlibat (bahkan terkadang terlibat dalam proyek bantuan keamanan resmi) dalam perdagangan senjata internasional, termasuk ke negara-negara yang terlibat dalam konflik atau pelanggaran hak asasi manusia. Penjualan senjata dan bantuan militer ke Israel oleh negara-negara Barat, sangat mempengaruhi dinamika konflik dan menciptakan eskalasi konflik yang tidak perlu hingga memakan banyak nyawa penduduk sipil. Hal ini menimbulkan kontradiksi antara promosi perdamaian dan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari penjualan senjata.
Walaupun kita dapat melihat bagaimana kompleksitas situasi yang terjadi dilapangan, tetapi rasanya negara-negara barat, juga negara-negara laindidalam PBB dapat merumuskan resolusi yang lebih baik lagi daripada apa yang dirumuskan pada hari ini. Pada akhirnya kit amelihat negera-negara yang patut memegang veto adalah negara-negara yang terbukti konsisten dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian di dunia.