Kolom

Oman Al-Makmur Lamprit

Masa kecil saya di Banda Aceh penuh kenangan. Ketika keluarga pindah, dari Montasik ke kota itu, saya baru berumur dua tahun. Entah darimana datangnya ingatan itu; mobil yang mengangkut berbagai barang berjalan beriringinan. Saya teringat mobil pick up besar, berwarna kuning, berjalan paling di depan. Diikuti mobil lain.

Di Banda Aceh, rumah kami, yang secara admistrasi, termasuk bagian dari gampong Lamprit – belakangan jadi bagian dari Beurawe, seperti berada di tengah sawah. Bahkan dapat terlihat dari jalan protokol, bila saya pergi ke kota bersama almarhum Bapak. Tentu pemandangan itu sekarang tidak lagi dijumpai. Kini wilayah pemukiman menjadi sangat padat. Rumah kami, dan beberapa rumah tetangga di masa awal, seperti terjepit di antara bangunan rumah megah lainnya.

Awal mula, daerah yang kami bermukim belumlah ramai, sehingga aktivitas ibadah, seperti sembahyang Jumat atau taraweh, harus ke masjid Ibnu Sina RSUDZA. Mesjidnya kecil. Berada di ujung rumah sakit itu, dekat kamar mayat. Saya dan teman-tema, kala itu, menjadikan mesjid itu sebagai salah satu area permainan. Kadang-kadang, sambil menunggu shalat, entah itu zuhur atau menjelang magrib, kami mengekspolarasi bagian-bagian dari rumah sakit tersebut. Termasuk kamar mayat. Tentu tidak lupa, selalu saja ada sisipan cerita horror, yang bersumber dari kamar mayat itu.

Yang paling khas dari masjid Ibnu Sina itu adalah imamnya. Kami memanggil beliau pak Haji, karena hampir sepanjang waktu dia memakai pakaian Arab. Rumahnya di Kuta Alam. Kompleks tentara. Dia pensiunan Angkatan Darat. Setiap pagi menjelang Subuh, dari rumahnya, dia ke mesjid Ibnu Sina dengan mengendarai sepeda ontel. Dan hanya dia, bukan yang lain – termasuk kepala RSUDZA, yang boleh melewati lorong utama dalam bangunan rumah sakit dengan sepedanya itu. Tidak ada yang melarang. Mungkin tidak ada yang berani

Di masjid Ibnu Sina, dia bertugas memastikan pelaksanaan shalat jamaah berjalan dengan lancar. Saya tidak tahu, kapan awal mula, pak Haji menjadi pengelola masjid itu. Sejak pertama kali saya ke masjid Ibnu Sina, suaranya sudah menjadi khas di masjid itu.

Pak Haji tidak hanya menjadi imam, tapi juga muazzin. Dia punya shalawat yang khas. Biasanya dibaca sebelum azan Zuhur dan Ashar. Bukan shalawat tarhim yang pernah populer di Banda Aceh tempo itu. Setiap selesai shalawat, dia mengumumkan, bahwa waktu shalat akan masuk beberapa saat lagi. Terkadang pengumuman disisipkan dengan informasi, kalau keran air tidak hidup, jadi para jamaah diminta untuk berwudhu di rumah. Bila dia menjadi imam, sebelum sembahyang dia mengingatkan agar jamaah merapatkan shaf. Karena masjid itu punya karpet hijau dengan garis shaf coklat, pengumumannya-pun khas sekali, “harap rapatkan shaf, luruskan tumit dengan garis coklat.” Belakangan, lantai masjid Ibnu Sina diperbaharui. Lantainya dipasang keramik, namun garis shafnya bukan lagi coklat, melainkan merah. Sehingga, pengumumannya-pun berubah, “harap rapatkan shaf, luruskan tumit dengan garis merah.” Saya teringat, apabila dia menjadi imam, irama yang dibawanya tidak berubah. Tidak ada variasi. Terutama ketika membawakan dua surah, Ad-Dhuha dan At Tiin. Ketika terjadi pembangunan RUDZA yang baru, masjid Ibnu Sina tidak lagi digunakan. Ada masjid baru, yang lebih dekat dengan jalan protokol. Nama masjidnya-pun kini sudah berganti, bukan lagi Ibnu Sina, melainkan Raudhatul Jannah.

Tidak jauh dari masjid Ibnu Sina, di samping jalan T. Nyak Arief – yang kini berganti nama menjadi jalan Tgk. Daud Beureuh – berdiri sebuah masjid megah. Namanya mesjid Al Makmur, Lamprit. saya dan teman-teman lain, pindah ke masjid itu, untuk sembahyang Jumat dan taraweh di bulan puasa.

Masjid itu besar. Ukurannya hanya kalah dari masjid Raya Baiturrahman. Lantainya keramik. Sangat mewah. Kubahnya tidak seperti masjid kebanyakan. Melainkan seperti payung yang jelang kembang.

Ketika saya mulai aktif sebagai remaja masjid di masjid Al Makmur, ada satu cerita – yang menjadi kebanggaan warga gampong Lamprit, tentang bagaimana masjid yang mereka bangun, diputuskan sebagai mesjid Kota Banda Aceh, sehingga menjad masjid Agung Al-Makmur, kota Banda Aceh.

Ceritanya, Kota Banda Aceh belum memiliki mesjid resmi. Lalu muncul dua nominasi. Masjid Al Makmur di Lamprit dan Baitul Musyahadah di Geuceu. Mesjid yang disebut kedua juga unik. Kubahnya juga bukan seperti lazimnya masjid-masjid khas timur tengah, tetapi seperti Kupiah Meukutob. Lalu letaknya juga di pusat keramaian, Jalan. Teuku Umar, Setui.

Selain itu, wilayah di dua masjid itu juga menjadi tempat bermukim kelas menengah dan elit politik Aceh kala itu. Daerah Geuceu misalnya, petinggi politik dan pemerintahan Aceh kala itu banyak mendiami daerah tersebut. Lamprit tidak kalah. Kompleks perumahan yang didirikan oleh Gubernur Hasjmy, bersamaan dengan pendirian Darussalam, juga didiami oleh para kelas menengah baru Aceh, yang tumbuh pasca DI/TII. Bahkan di beberapa ruas jalan di Lamprit, ada rumah yang dimiliki oleh para veteran Darul Islam, baik dari faksi ulama maupun zuama – meminjam frasa dari Nazaruddin Sjamsuddin.

Di Lamprit itu pula, sekolah dari TK sampai SMA didirikan. Saya bersekolah di sana ini sampai tingkat menengah pertama. Dapat dikatakan, Lamprit wilayah sangat modern, begitu juga masyarakatnya, sehingga masjidnya-pun dikelola dengan modern pula. Mulai dari keuangannya, kegiatan mesjidnya, arah pembangunannya, dan tentu saja pola keberagamaannya.

Sejak awal keberadaannya, masjid Agung al Makmur menjalankan keberagamaan khas masyarakat perkotaan. Para ilmuwan sosial sering menyebutnya, aliran modernis – sebagai pembeda dengan kelompok tradisi. Tokoh utama yang menyangga hal tersebut adalah Ust. Ahmad Abdullah. Para pemuda lamprit lebih akbrab memanggilnya pak Imam.

Ust. Ahmad Abdullah merupakan alumnus Sumatera Thawalib. Dia termasuk generasi Aceh di awal abad ke-20 yang menempuh pendidikan Islam modern. Sebagai alumnus Thawalib, Ust. Ahmad Abdullah membawa spirit pembaharuan Islam. Baginya, Islam yang lurus itu haruslah optimis dengan ilmu pengetahuan, kebudayaaan dan keberagamaan yang murni; bersih dari unsur-unsur khurafat, tahayul dan bid’ah. Dan spirit itu yang mewarnai sekali kreatifitas masyarakat gampong Lamprit. Ketika saya masih kecil, di masjid Agung Al Makmur, sering sekali mengadakan perlombaan untuk memperingati hari besar agama Islam. Gampong menjadi ramai. Masjid bergairah. Lampu warna-warni di mana-mana.

Ust. Ahmad Abdullah selalu menekankan betapa pentingnya pengetahuan. Satu waktu dari atas mimbar, ketika memberi kuliah tujuh menit (kultum), dia berpesan, agar kultum yang selama ini menjadi tradisi mesjid Agung Al makmur tidak boleh hilang. Harus terus dilanjutkan. Kultum memang menjadi wadah untuk menyampaikan pesan agama secara ringkas dan efektif. Belakangan saya baru mafhum, bahwa kultum adalah tradisi dari kaum modernis.

Satu waktu saya ke mesjid Al Azhar Jakarta, tempat dimana kaum modernis Masyumi di Indonesia berkumpul dan bergerak, untuk shalat Magrib. Selesai shalat, kultum disampaikan oleh penceramah. Ketika melihat itu, saya teringat apa yang dipraktikan selama bertahun-tahun di masjid Agung Al Makmur, dibawah arahan Ust. Ahmad Abdullah.

Ketika gempa dan tsunami, mesjid Agung Al Makmur itu rusak berat. Saat itu, ust. Ahmad sudah berpulang, dua tahun sebelumnya. Saya jadi teringat cerita dari pak Rahman Kaoy, dosen di IAIN Ar Raniry, mubalig kondang serta pengurus masjid itu sejak awal mula dididirikan. Dia mendapat kabar dari salah satu warga, kalau masjid Agung Al Makmur roboh. Dengan bergegas, pak Rahman datang, melihat masjid yang bersama-sama dibangunnya dengan waga Lamprit luluh lantak oleh gempa. Dengan hati yang masygul, dia berdoa. Doa yang penuh harap, agar Tuhan mengganti kembali masjid itu. Bahkan dengan yang lebih baik lagi.

Doanya didengar dan dikabulkan.

Datanglah Sultan Oman Qubus, membuat ulang masjid itu, dengan bentuk yang berbeda sama sekali dengan mesjid lama. Akan tetapi pembangunan dilakukan menggantikan masjid warga Lamprit yang rusak karena gempa dan tsunami itu.

Doa pak Rahman tidak saja didengar dengan berdirinya masjid dengan megah. Bahkan lebih dari itu. Masjid Al Makmur kini lebih makmur. Penataan lebih rapi. Dan ada satu yang tidak berubah dari masjid itu, spirit modernisme Islam, yang ada sejak zaman Ust, Ahmad Abdullah tidak hilang. Bahkan lebih artikulatif dengan hadirnya ahli Islam baik dari Darussalam atau para lulusan Timur Tengah.

Namun belakangan, sikap konsistensi dari masjid Agung Al Makmur mulai mendapat sorotan. Bermula dari keributan di Aceh mengenai ketegangan “Aswaja” dengan Wahabi,” lalu merembet kemana-mana. Masjid Agung Al Makmur – sejak mula berdiri adalah masjid gampong Lamprit yang diberi status sebagai masjid Kota Banda aceh – tidak luput dari sorotan. Penekanan semakin kuat setelah peta politik berubah setelah Pilkada 2017 di Banda Aceh. Dalil yang digunakan, “semestinya, sebagai masjid Kota Banda Aceh, tidak memberi tempat kepada pengajian, yang bukan merupakan arus besar dari pemahaman Islam masyarakat Aceh.”

Suasana menjadi tegang. Kasak kusuk pun terjadi. Sampai satu waktu, atas kesadaran bersama, warga Lamprit seluruhnya mengadakan rapat. Lalu lahir satu kesimpulan penting, yaitu mengembalikan status masjid Agung kepada pemerintah Kota, dan menjadikan masjid Al Makmur, kembali seperti sedia kala, sebagai masjid gampong Lamprit. Kini namanya masjid Oman Al Makmur Bandar baru. Bukan lagi masjid Agung al Makmur Kota Banda Aceh.

Masjid Oman atau Al Makmur tetap seperti semula. Jamaah berbondong-bondong. Pengajian tetap semarak. Masjid bersih.Pendidikan dan ekonomi umat tetap berjalan.

Dalam diam, saya membayangkan wajah ust. Ahmad Abdullah dan orang-orang tua gampong Lamprit yang telah berpulang, bahwa apa yang diperjuangkan sejak dahulu, tetap hidup dengan khidmat.

Publikasi pertama kali di: https://www.popularitas.com/berita/oman

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button