Kolom

Nilai-Nilai Fitrah untuk Peradaban

Jalan fitrah adalah lintasan kehidupan yang selayaknya diikuti manusia. Keluar dari lintasan itu sama artinya menciptakan kehancuran.

SEORANG penulis sejarah Perang Dunia II yang juga Jenderal Sekutu dalam perang Korea S.L.A. Marshall, menulis tentang perilaku tentara. Secara mencengangkan ia menemukan fakta bahwa ternyata para tentara takut membunuh. Sang Jenderal menyimpulkan bahwa penyebab paling utama kekalahan di medan perang adalah karena takut membunuh, bukan takut dibunuh.Para tentara itu enggan membunuh sesama manusia kalau bukan karena tuntutan tugas. Mereka tak mampu mendustai suara hatinya, karena itulah fitrahnya sebagai manusia.

Manusia diciptakan Allah Ta’ala di atas cetak biru bernama fitrah yang mustahil musnah kendati tersembunyi dan terselubungi (QS.30:30). Jalan fitrah adalah lintasan kehidupan yang selayaknya diikuti manusia. Keluar dari lintasan itu sama artinya menciptakan kehancuran. Sama halnya dengan planet yang seandainya tergelincir 0,1 mm saja dari lintasannya, maka kehancuran segera datang dan kepala kita akan segera mendidih akibat panas yang sangat hebat. Alam inipun konsisten di atas fitrahnya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah Ta’ala.

Al-Qur’an menyebut jalan fitrah dengan istilah shirotol mustaqiim/jalan yang lurus (QS. 1:6; QS.6:153), dan shirotol hamiid/jalan yang terpuji (QS.22:24). Jalan yang lurus itu bermuatan nilai-nilai mulia sebagai penyangga peradaban manusia.

Nilai adalah sesuatu yang selayaknya dijunjung, dipegang erat, dan mengikat untuk diwujudkan dalam tindakan nyata. Nilai-nilai itu setidaknya mencakup: nilai pembebasan/nilai tauhid, nilai keluarga, nilai kemanusiaan, nilai kejujuran, dan nilai keadilan. Nilai-nilai itu menjadikan hidup manusia terarah dan bermakna.

Sebaliknya, kealpaan nilai-nilai tersebut dalam peradaban manusia, akan menggiring manusia ke titik kehancurannya. Pertama, nilai pembebasan/nilai tauhid (QS.6:151). Manusia diperintahkan Allah Ta’ala untuk membebaskan jiwanya dari beragam ikatan berbuhul syirik kepada-Nya.

Mengenal Tuhan adalah perkara fitrah, dan menyembah serta dorongan kepadaNya adalah bagian dari kesaksian batin (syuhud). Dalam keadaan ditimpa kesulitan, setiap manusia akan menyadari hubungan dan kesaksiannya tentang adanya Tuhan. Lalu, mereka menyembah dan mengadu kepadaNya (QS.29:65; 16:53).

Larangan berbuat syirik bertujuan agar manusia mengikuti fitrahnya untuk tauhid. Bertauhid mengantarkan manusia mengenal dan berhubungan dengan Tuhan sejalan dengan fitrahnya. Kekokohan dalam bertauhid dikawal dengan kekokohan bersyahadat sebagai ikatan kuat antara seorang hamba dengan rabb-Nya (QS. 6:152).

Berikutnya, nilai keluarga yang dimulai dengan memperbaiki hubungan dengan kedua orang tua (QS.6:151). Di dalam al-Qur’an, larangan durhaka kepada orang tua selalu berada setelah larangan syirik kepada Allah Ta’ala.

Beragam persoalan keluarga dewasa ini menjadi ancaman yang sangat serius. Keluarga modern cenderung meninggalkan fungsi-fungsi yang semestinya mereka penuhi.

Berbagai survei pendidikan moderen menunjukkan bahwa kekisruhan keluarga menjadi elemen terbesar terjadinya penyimpangan. Sumber awalnya adalah sirnanya keharmonisan dengan orang tua.

Ketiga, nilai kemanusiaan yang ditandai dengan larangan membunuh anak karena takut miskin, mendekati perbuatan keji, membunuh manusia yang diharamkan Allah untuk dibunuh, dan mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (QS.6:151-152).

Keempat, nilai kejujuran yang diungkapkan dengan perintah menyempurnakan takaran dan timbangan (QS.6:152). Menyempurnakan takaran dan timbangan adalah salah satu contoh perbuatan jujur yang diwujudkan dengan penuh daya juang antara bisikan kejahatan dan dorongan kebaikan.

Terakhir, nilai keadilan (QS.6:152). Semua manusia merindukan keadilan, sekaligus tak sudi diperlakukan dengan tidak adil. Pemberontakan terhadap kesemena-menaan hakikatnya adalah pemberontakan jiwa yang fitrah.

Hidup di dunia ini hanya sekali, dan itu harus berarti. Jalan kehidupan yang berliku ini akan indah manakala yang kita tempuh adalah jalan fitrah. Di atas jalan itu berdiri rambu-rambu dalam bentuk nilai-nilai yang dirindukan seluruh jiwa manusia.

Mengabaikan nilai-nilai itu hanya menyiksa jiwa dan secara perlahan membawa hidup menuju jurang kehancuran (QS.20, Thaahaa:124). Wallahu a’lam bish-Shawab.

Irwandi Nashir

Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Bukittinggi dan Penggiat Literasi Guru

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button