Site icon Majalah Grak

Tahun Baru, Akar Budaya dan Sikap Muslim Sepatutnya

Tahun Baru, Akar Budaya dan Sikap Muslim Sepatutnya

Tahun Baru, Akar Budaya dan Sikap Muslim Sepatutnya

traffic jam on a multi lane highway at night

Oleh Bey Abdullah

1. Tahun Baru dan Akar Budayanya

Perayaan tahun baru memiliki akar budaya yang berasal dari tradisi paganisme, yaitu keyakinan kuno masyarakat non-monoteistik di Eropa. Tradisi ini kerap diisi dengan ritual yang berkaitan dengan penyembahan dewa-dewa atau roh tertentu, seperti perayaan Saturnalia dalam agama Romawi. Untuk mengimbangi tersebut, ketika agama-agama Eropa mengadopsi tradisi ini, unsur-unsur pagan tetap bertahan, meskipun dengan nama dan makna ibadah berbeda yang sudah dikristenkan pada awalnya. Perayaan tahun baru kemudian menjadi bagian dari budaya global, lintas budaya, termasuk di negara-negara Muslim.

2. Eksploitasi Komersial Tahun Baru

Seiring waktu, perayaan tahun baru berubah menjadi ajang komersial yang sangat menguntungkan bagi industri hiburan, ritel, dan pariwisata. Pesta kembang api, promosi belanja, dan liburan spesial dimanfaatkan untuk mendorong konsumerisme. Sayangnya, banyak dari kita yang ikut terlibat tanpa menyadari bahwa budaya ini jika berlebihan akan memiliki ketidak sesuaian dengan nilai-nilai Islam.

Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan melarang segala bentuk berlebih-lebihan. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Menghabiskan uang untuk pesta atau hal yang tidak bermanfaat dalam perayaan tahun baru tentu masuk dalam kategori ini.

3. Perlunya kehati-hatian

Sebagai Muslim, kita diwajibkan berhati-hati agar tidak terjerumus dalam kesyirikan, amal yang sia-sia baik langsung maupun tidak langsung. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud). Merayakan tahun baru termasuklah dalam area yang abu-abu, menjadi biasa ketika kita tidak memandangnya sebagai momen yang luar biasa. Tidak seperti natal yang memang kita dapat memahami adalah perayaan dari agama lain. Sehingga merayakan tradisi yang memiliki akar pada ritual non-Islami bahkan non-agamis bisa membawa kita jauh dari hal-hal penting yang disampaikan oleh agama, bahkan jika sangat berlebihan hingga memuja-muja tahun baru dapat menjadikan kita mendekati perbuatan syirik tanpa disadari.

4. Pemaknaan Tahun Baru dalam Islam

Islam tidak mengenal perayaan tahun baru sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat umum. Dalam Islam ada dua perayaan yang sangat dianjurkan yakni perayaan 2 Ied (Iedul Fitri dan Iedul Adha). Untuk itu kita sebagai Muslim diajarkan untuk memperhatikan amal yang pokok dan memperlakukan setiap momen dalam kehidupan sebagai kesempatan yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan cara dan amalan yang tidak jauh dari nilai-nilai Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh…” (QS. Al-‘Asr: 1-3).

5. Refleksi dan Muhasabah

Sebagai Muslim, pergantian tahun hanya dicukupkan dengan momentum refleksi ringan dan bermuhasabah. Refleksi yang sesungguhnya patutnya dilakukan setiap saat, terutama di waktu kita shalat. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang selalu mengevaluasi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi). Dengan ini karena tidak bisa menghindar dari suasana yang ada maka tahun baru perlu dimaknai sebagai momen untuk memperbaiki diri, bukan untuk berlebih-lebihan apalagi berhura-hura.

6. Perayaan yang Sederhana dan Biasa

Jika seseorang merasa perlu menandai pergantian tahun, seperti berada dalam budaya kantor dalam tutup buku aktifitas tahunan, maka cukup disikapi dengan cara yang sederhana. Hindari segala bentuk perayaan yang mengarah kepada pemborosan, melalaikan ibadah atau bahkan menjadikan kita lebih bahagia daripada perayaan-perayaan yang bernilai ibadah dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.” (HR. Baihaqi).

Dalam perspektif Islam, pergantian tahun tidak berbeda dengan pergantian hari lainnya. Setiap hari adalah peluang untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Menjadikan tahun baru sebagai hari istimewa tanpa dasar syar’i justru bisa menjauhkan kita dari hakikat waktu sebagai amanah.

7. Menjauhi Tradisi yang Tidak Islami

Sebagai Muslim, kita harus selektif terhadap tradisi yang diadopsi. Rasulullah SAW bersabda: “Kamu akan mengikuti tradisi umat sebelum kamu sejengkal demi sejengkal…” (HR. Bukhari). Oleh karena itu, penting untuk tidak larut dalam tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pergantian tahun hendaknya menjadi pengingat bahwa waktu terus berjalan menuju kehidupan akhirat. Dengan memahami ini, kita sebagai Muslim dapat lebih fokus pada amal saleh daripada sekadar mengikuti budaya perayaan duniawi.
Daripada menghabiskan malam pergantian tahun dengan pesta, lebih baik isi dengan doa dan niat untuk memperbaiki diri. Dengan demikian, tahun baru dapat menjadi momen yang lebih bermakna dalam hidup seorang Muslim.

Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/aqidah/waswas-budaya/20241231-tahun-baru-akar-budaya-dan-sikap-muslim-sepatutnya

Exit mobile version