Beberapa hari lalu saya mengikuti rapat koordinasi tingkat RW, dari sekian hal yang dibahas ada satu fenomena menarik, kas RW menipis sementara beban sosial semakin besar, untuk meningkatkan besaran iuran sulitnya bukan main dengan berbagi pertanyaan dari warga.
Di sisi lain, salah satu musholla di perumahan yang sama memiliki kas hingga puluhan kali lipat jumlahnya. Dan saya pernah ditanyai bagaimana mengelola zakat, infaq, dan sodaqoh sementara orang yg berhak menerima zakat juga tidak terlalu banyak di perumahan tersebut.
Dua kondisi di atas, buat saya adalah cerminan dari dua sistem pengelolaan keuangan yang ada di negara ini. Satu dengan sistem ekonomi konvensional, dan satu dengan sistem syariah.
Ada perbedaan paradigma antara keduanya. Ekonomi konvensional memiiki paradigma dengan pengeluaran sekecil-kecilnya diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara ekonomi syariah memiliki paradigma bagaimana pendapatan dan pengeluaran sesuai aturan Allah SWT.
Menariknya ekonomi konvensional kini seperti mengalami kebuntuan dalam menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan sosial. Dunia dikuasai oleh orang-orang yang memiliki modal, yang mencari keuntungan sebesar-sebesarnya dengan menghindari kewajiban sosial (pajak) sekecil-kecilnya.
Di sisi lain geliat ekonomi syariah makin marak di berbagai lininya, bermunculannya lembaga zakat infaq sodaqoh, fesyen syar’i, pariwisata halal (syar’i), industri halal, edukasi syar’i (peantren), bahkan kulkas pun menjual merk halalnya.
Dari sini saya melihat ekonomi syariah saat ini menjadi alternatif dunia untuk menciptakan ekonomi yg lebih berkeadilan.
Sayangnya standar kita kepada syariah masih sering menggunakan standar ganda. Kadang kita menikmatinya, kadang kita mencurigainya. Mungkin perlu penelitian lebih lanjut terkait standar ganda ini, karena bisa jadi standar ganda ini yang selama ini menjadi blocking untuk pengembangan sesuatu yang lebih baik sifatnya.
Wallahu a’lam