
Oleh: Hanief Adrian, mahasiswa S2 Ilmu Politik UI dan penggiat Soemitronomics
Empat bulan setelah Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden, ketidakpuasan masyarakat terhadap beberapa kebijakan pemerintahan baru nampak mulai menguat. Demonstrasi mahasiswa dan masyarakat warga (civil society) sejak pertengahan Februari 2025 mengindikasikan bahwa kebijakan baru Pemerintahan Prabowo memerlukan perubahan institusional dan gaya hidup yang nampak belum terkomunikasikan dengan baik ke masyarakat.
Demonstrasi pada bulan ini sebenarnya cukup spesial karena dua hal, pertama bulan Februari adalah bulan lahirnya dua partai politik yang mempengaruhi pemikiran Prabowo dalam ekonomi dan politik, yakni Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dideklarasikan Sutan Syahrir, guru kader ayahnya Prabowo yaitu Soemitro Djojohadikusumo; dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dideklarasikan pada 6 Februari 2008.
Kedua, demonstrasi mahasiswa dan masyarakat warga memberikan indikasi penting bahwa Pemerintahan Prabowo jauh dari segala upaya membangun rezim otoriter. Walaupun dituduh sebagai fasis, Prabowo nampak memerintahkan aparat keamanan untuk tidak melakukan pendekatan represif terhadap massa aksi, dan justru menunjukkan pendekatan persuasif salah satunya dengan mengutus Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi untuk menghadapi massa aksi mahasiswa pada 20 Februari kemarin dan membujuk massa untuk membubarkan diri dengan damai, serta berjanji akan mempelajari tuntutan aksi.
Apapun itu, kebijakan pemerintahan Prabowo yang berulang kali ditekankan merupakan perwujudan dari pemikiran ekonomi-politik Prof Soemitro Djojohadikusumo yang berwatak sosialis demokrat nampak belum disusun dengan perencanaan teknokratis dan komunikasi politik yang baik. Kritik dari mantan Wakil Presiden Boediono bahwa Prabowo harus memadukan perencanaan teknokratis dari para pakar akademik yang didukung masyarakat politik, perlu disikapi dengan saksama walaupun kritik tersebut berasal dari seorang ekonom yang disinyalir beraliran Neoliberal, sebuah faham ekonomi politik yang sangat ditentang oleh Prabowo dan tidak sesuai dengan konstitusi ekonomi negara kita.
Kebijakan Ekonomi Prabowo dalam Soemitronomics
Dari sekian banyak kebijakan ekonomi Prabowo yang dikatakan merupakan pelaksanaan dari pemikiran ekonomi Soemitro atau Soemitronomics, penulis memberikan highlight pada ada tiga kebijakan yang hangat diperbincangkan di masyarakat. Pertama, Prabowo berupaya merealisasikan janji politiknya melaksanakan program makan bergizi dari sebelumnya dilaksanakan bertahap menjadi tercapai 100 persen pada tahun ini, dengan target pemenuhan gizi untuk 82,9 juta anak. Dampaknya adalah anggaran untuk program makan bergizi ini meningkat dari Rp 71 Triliiun pada awal tahun ini menjadi Rp 171 Triliun pada akhir 2025.
Kedua, dampak dari upaya memenuhi janji politik yang sebenarnya adalah upaya Presiden Prabowo memenuhi hak konstitusi warga negara menjadi sehat, cerdas dan hidup layak, adalah efisiensi penggunaan anggaran negara. Anggaran negara diatur ulang agar lebih efisien sehingga belanja yang tidak perlu dan seremonial saja dikurangi. Titik fokus kebijakan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat yaitu pendidikan dan kesehatan, termasuk di dalamnya program pemenuhan gizi anak usia sekolah yang sedang berjalan.
Ketiga adalah perubahan institusional perusahaan negara agar menjadi lebih efisien dan profesional melalui revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Revisi tersebut menjadi dasar hukum pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anaga Nusantara (BPI Danantara) yang akan mengelola aset tujuh BUMN senilai Rp 15.939 ribu Triliun.
Bagaimana Soemitronomics memandang dan menganalisa kebijakan Pemerintahan Prabowo? Perlu diulas kembali bahwa kebijakan ekonomi Soemitro bertumpu pada tiga hal yang pada masa Orde Baru diberi istilah Trilogi Pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Apakah kebijakan Prabowo akan menciptakan pertumbuhan ekonomi? Jika merujuk pada pendekatan pertumbuhan ekonomi yang diperkenalkan Keynes yang merupakan mazhab ekonomi Prof Soemitro, upaya menjaga daya beli masyarakat atau konsumsi melalui pencapaian full employment memang memerlukan intervensi pemerintah sebagai pelaku ekonomi. Pilihan kebijakannya tentu saja banyak, tetapi pada umumnya Pemerintah dituntut menjadi penyedia layanan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan subsidi kebutuhan masyarakat tanpa membeda-bedakan status sosial.
Program makan bergizi yang bertujuan memberikan layanan pemenuhan gizi bagi anak usia sekolah, ibu hamil dan balita tentu saja bagian dari upaya Pemerintahan Prabowo memenuhi layanan dasar publik. Selain menyelesaikan persoalan stunting, ketimpangan sosial antara masyarakat yang beranak sedikit dengan masyarakat beranak banyak berpeluang terjadi.
Pada tahun 2024 saja, jumlah keluarga dengan anggota sebagai 4 hingga 6 orang mencapai 58,63 persen menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). BPS juga mencatat bahwa penurunan kemiskinan terjadi sebesar 0,46 persen dari Maret 2023 hingga Maret 2024, dan pada September 2024 turun sebesar 0,29 persen. Artinya terjadi peningkatan jumlah masyarakat berpendapatan menengah dengan anak banyak pada akhir tahun 2024, yang ditunjukkan dengan peningkatan per kapita rata-rata Indonesia dari Rp 75 juta pada 2023 menjadi Rp 78,62 juta pada 2024.
Peningkatan pendapatan masyarakat kelas menengah beranak banyak tentu akan menimbulkan peluang sekaligus problem baru yaitu meningkatnya belanja mingguan rumah tangga sekaligus semakin kecilnya konsumsi harian anggota keluarga. Maka di sini diperlukan intervensi Pemerintah berupa kebijakan makan bergizi di sekolah yang dilaksanakan secara adil tanpa menyasar hanya kelas bawah, karena kenyataannya yang meningkat adalah jumlah kelas menengah beranak banyak.
Sosialisme Perlu Diimbangi Pragmatisme
Kebijakan makan bergizi yang berwatak sosialistik tentu akan memacu pertumbuhan ekonomi karena besarnya belanja sosial Pemerintah, sekaligus meningkatkan pemerataan pembangunan pertanian dan pedesaan sesuai dengan pemikiran Prof. Soemitro bahwa pembangunan harus dimulai bertahap dari desa. Tentu saja karena ini adalah kebijakan negara, pragmatisme menjadi hal yang tidak terhindarkan ketika berbicara mengenai keseimbangan anggaran negara.
Efisiensi penggunaan anggaran menjadi salah satu pilihan kebijakan tersebut agar Pemerintah dapat melakukan refocusing¬ dan realokasi sumber daya keuangan negara menjadi lebih tepat sasaran dan memenuhi prioritas pertumbuhan ekonomi. Program pemerintah yang tidak prioritas seperti seminar mewah, rapat perjalanan dinas yang tidak perlu, serta ekses-eksesnya berupa kickback menjadi sangat berkurang sebagai dampaknya. Benar kata Presiden bahwa untuk mengubah cara Pemerintah membelanjakan anggarannya, kita perlu berpuasa hingga penggunaan anggaran menjadi fokus dan teralokasikan dengan benar.
Hanya saja Pemerintahan Prabowo memang perlu mengevaluasi kebijakan efisiensi yang pragmatis ini dengan suatu perencanaan dan birokrasi yang mumpuni, serta dukungan teknokratis dari para pakar kebijakan publik sehingga efisiensi tidak menyasar pada berkurangnya hak-hak masyarakat yang seharusnya dipenuhi. Kebijakan sosial Pemerintahan Prabowo akhirnya dapat berjalan secara pragmatik alias memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, tidak omon-omon belaka.
Pragmatisme dalam kebijakan publik yang demokratis tentu saja memerlukan transparansi dan akuntabilitas sehingga kepercayaan dan kepuasan publik terhadap Pemerintahan Prabowo menjadi tetap terjaga. Contohnya adalah pengesahan UU BUMN yang memberikan dasar hukum bagi pembentukan BPI Danantara yang dilaksanakan cukup cepat dan cenderung tiba-tiba. Pemerintahan Prabowo perlu menjelaskan secara transparan apa maksud di balik pembentukan BPI Danantara yang susunan organisasi pelaksananya akan diumumkan pada Senin besok 24 Februari 2024.
Penutup
Kebijakan Prabowo yang berwatak sosialistis sesuai dengan pemikiran ayahnya Soemitro Djojohadikusumo, pasti akan didukung masyarakat jika dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu pragmatik atau bermanfaat, teknokratik atau terencana baik, transparan dan akuntabel, aspiratif-partisipatif serta tentu saja menjunjung tinggi kebebasan warga dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Kepada seluruh warga negara Indonesia, mari kita memberi kesempatan bagi Pemerintahan hari ini agar dapat mewujudkan cita-cita konstitusi ekonomi kita yaitu masyarakat merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sikap kritis tetap harus dijaga sembari menghindarkan diri dari segala sikap anti demokrasi dan berjalannya hukum yang adil.
Hidup Sosialisme!
Panjang umur Demokrasi!
Artikel asli: https://darulfunun.id/insight/policy-initiatives-collaborative-engagement/20250222-soemitronomics-sosialisme-dan-pragmatisme