Oleh: Hanief Adrian, Sekjen RMPG
Syahdan, pada 17 Agustus 1945 pukul tiga pagi, para pendiri bangsa akhirnya menyepakati kemerdekaan bangsa ini harus diproklamasikan tanpa menunggu janji dukungan Balatentara Kekaisaran Jepang yang disampaikan Marsekal Terauchi di Dalat kepada Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Soebardjo lima hari sebelumnya. Peristiwa proklamasi didahului insiden penculikan sehari sebelumnya, dahulu lebih ngetren dengan nama pendaulatan, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa para pemuda radikal ke Rengasdengklok agar memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu restu Jepang.
Kemerdekaan kemudian diisi dengan insiden demi insiden, perubahan sosial politik, agresi militer Belanda yang mereka klaim sebagi aksi polisionil, dan segala situasi khas revolusi. Kelompok sayap kanan dan sayap kiri berganti-ganti memberontak. Bung Karno memutuskan untuk menertibkan keadaan di tengah situasi seperti itu, revolusi belum selesai katanya, tetapi revolusi harus dipimpin olehnya sendiri dengan semangat gotong-royong.
Sang Begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo yang saat itu bukan hanya Dekan Fakultas Ekonomi UI, tetapi juga arsitek pembangunan ekonomi Indonesia melalui rencana industrialisasi itu, memilih untuk melawan gagasan demokrasi terpimpin Soekarno yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan otoritarianisme. Bagi Soemitro, membangun bangsa yang ratusan tahun dihisap kolonialisme artinya membangun kemampuan rakyat menghasilkan barang dan jasa secara mandiri untuk mencapai pertumbuhan, dan tentunya dengan iklim politik demokrasi sebagai prasyarat tumbuhnya perekonomian nasional.
Soemitronomics dan Demokrasi yang Stabil
Komitmen sang Begawan dengan demokrasi bukanlah omon-omon tanpa rekam jejak. Soemitro adalah mahasiswa Economische Hogeschool atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam saat Nazi Jerman datang menyerbu negeri Belanda pada bulan Mei 1940. Ia memilih melawan, walau taruhannya adalah nyawa atau menjadi tawanan kamp konsentrasi.
Watak dan komitmen ini pun ditunjukkan oleh ayahnya, Margono Djojohadikusumo, yang saat pendudukan Jepang menjabat sebagai kepala urusan beras di Kadipaten Mangkunegaran, melindungi rakyat dari keharusan menyetor hasil buminya kepada koperasi bikinan Jepang yang dikenal dengan nama kumiai¬. Kesuksesan Margono mencegah kelaparan di daerahnya menyebabkan Bung Hatta memanggilnya ke Jakarta untuk mengurus persediaan makanan rakyat di Jawa. Inilah sebabnya, walaupun Jawa mengalami krisis beras pada awal merdeka akibat tiga tahun hasil keringat petani itu dihisap semena-mena oleh Jepang, tetapi pada awal tahun 1946 kita mampu surplus beras bahkan mengirimkan 500 ribu ton beras ke India yang sedang dilanda kelaparan.
Oleh karena itu, Soemitro tak ragu memilih jalan pemberontakan bahkan sampai beliau dicap pengkhianat, karena menegakkan komitmennya bahwa pembangunan tidak akan berjalan dalam jangka panjang jika ditegakkan di atas otoritarianisme. Soemitro memilih mendukung Orde Baru yang dipelopori dan didominasi oleh Tentara, karena di awal Tentara di bawah pimpinan Jenderal Soeharto memberikan janji bahwa Orde Baru akan dibangun di atas Demokrasi Pancasila dan yang murni dan konsekuen.
Menariknya, Soemitro sebagai salah satu tokoh PRRI/Permesta mendukung kepemimpinan Presiden Soeharto dalam Rezim Orde Baru yang saat peristiwa pemberontakan daerah tersebut adalah Panglima Divisi Diponegoro, komando teritorial yang paling banyak mengirim pasukan untuk menumpas PRRI di Sumatera Barat.
Soemitro bahkan memberikan kerangka ideologis bagi pembangunan era Orde Baru. Dalam peresmian Universitas Terbuka tanggal 4 September 1984, Prof. Soemitro memberikan kuliah perdana dengan tema ‘Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila’ yang menegaskan bahwa pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tentu saja ini adalah pembangunan yang berlandaskan demokrasi.
Beliau menegaskan bahwa rakyat dalam pembangunan bukan merupakan faktor pasif yang hanya dapat dikerahkan saja untuk suatu sasaran, rakyat bukan pula hanya menunggu pasif sampai mendapatkan nikmat dari pembangunan. Menurutnya, pembangunan yang kita kehendaki adalah atas kesadaran rakyat untuk memperbaiki nasibnya, rakyat adalah pelaksana aktif yang berperan di dalam usaha pembangunan.
Soemitro menyatakan negara adalah kerangka perlindungan bagi rakyat yang hidup sebagai bangsa, di mana pemerintah sebagai lembaga kenegaraan merupakan wahana penyelenggaraan kebijaksanaan dan saluran pengabdian untuk aspirasi dan kepentingan rakyat, dalam hubungan ini penyelenggara kebijaksanaan tentu merasa berkewajiban sebagai semestinya untuk memperhatikan secara seksama segala apa yang hidup dalam perasaan dan pikiran rakyat dan penyelenggara kebijaksanaan bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya kepada rakyat.
Soemitro dan Penguatan Civil Society
Tentu saja, Soemitro bukanlah penganut etatisme yang menganggap negara adalah segalanya dan kekuasaan harus hadir hingga persoalan sekecil-kecilnya. Soemitro berperan penting memperkenalkan organisasi masyarakat sipil dengan ikut mendirikan Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (BINEKSOS) bersama Emil Salim, Ali Wardhana dan Gubernur DKI Jakarta Letjen Ali Sadikin pada 7 Juli 1970. Bekerja sama dengan Friedrich Naumann Stiftung, BINEKSOS berkembang menjadi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
LP3ES pada masa Orde Baru menjadi sarana para pemikir dan aktivis pro-demokrasi untuk mengkritisi pembangunan, yang pada masa itu harus disiasati dengan metode konstruktif karena akhirnya Orde Baru lama kelamaan berwatak otoriter. LP3ES menjadi wadah para tokoh pro-demokrasi seperti Soedjatmoko, Dawam Rahardjo, Arief Budiman, Adnan Buyung Nasution, hingga para aktivis mahasiswa seperti Hariman Siregar, Heri Akhmadi dan Rizal Ramli untuk menjaga kewarasan demokrasi pada masa itu.
Jika Soemitro menempuh jalan ideologis untuk mewujudkan demokrasi dan pembangunan kerakyatan, hal berbeda ditempuhnya putranya yaitu Prabowo. Prabowo setelah lulus SMA di Inggris dan kembali ke Indonesia tahun 1968, mendirikan LSM Pembangunan bersama Soe Hok-Gie aktivis mahasiswa UI kader Soemitro dalam Gerakan Pembaruan, sebuah gerakan intelektual bawah tanah anti-Soekarno.
Namun, alih-alih berkuliah dan menempuh jalur intelektual, Prabowo memilih masuk Akademi Militer sebagai jalan yang paling realis-pragmatis untuk mewujudkan pembangunan kerakyatan, yaitu menjadi Presiden RI. Maklum saja, Soeharto selain Presiden RI merupakan Ketua Partai Tentara. Jalan realis-pragmatis itu nampaknya akan lancar karena karirnya yang melesat sangat cepat, walau akhirnya terhenti karena Reformasi 1998 menutup jalan politik tentara.
Reformasi 1998 menggantikan jalan politik tentara menjadi jalan pelembagaan partai politik sipil. Prabowo kembali memilih langkah pragmatis dengan mengikuti kontestasi demokrasi. Ia ikut untuk kemudian gagal dalam Konvensi Calon Presiden Partai Golkar untuk Pilpres 2004. Prabowo lalu mendirikan partai politik Gerindra, bertarung untuk kemudian kalah dalam tiga pilpres berikutnya.
Akhirnya pada tahun ini, cita-cita Prabowo menjadi Presiden tercapai juga.
Penutup
Syahdan pada 17 Agustus 2024, Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-79 di masa transisi pemerintahan dari Jokowi kepada Prabowo Subianto. Dua tokoh rival politik dalam dua kali Pilpres ini menjadi persekutuan politik, seperti mengulang sejarah antara Soemitro yang melawan Bung Karno dengan Soeharto yang mendukung Soekarno akhirnya menjadi sekutu untuk menjatuhkan Bung Karno dan mendirikan Orde Baru.
Wacana Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang digulirkan Prabowo kepada publik dalam rangka mewujudkan persatuan dan stabilitas politik bukanlah gagasan baru, ia hanya mencoba mengulang sistem mayoritas tunggal yang tidak hanya berjalan di Indonesia pada masa Orde Baru saja, tetapi lazim terjadi dalam demokrasi di negara-negara Asia seperti Singapura, Jepang dan Malaysia.
Sistem mayoritas tunggal jika dijalankan dengan prinsip check and balance maka sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi. Mayoritas tunggal akan memberi jalan pemerintah dan kekuatan politik di DPR bekerja sama dengan semangat musyawarah dan gotong-royong dalam menyelenggarakan kebijaksanaan dan mengabdi pada aspirasi serta kepentingan rakyat. Lain halnya jika check and balance absen dalam masyarakat politik kita, barulah kita dapat mencium gejala tumbuhnya kekuasaan politik otoriter.
Dan demokrasi yang sejati tentu saja tidak hanya memerlukan masyarakat politik berprinsip check and balance. Demokrasi sebagaimana pemikiran Soemitro guru ideologis Prabowo juga mensyaratkan peranan masyarakat yang aktif, karena masyarakat itulah aktor pelaksana pembangunan yang demokratis, berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Maka peranan rakyat atau lazim disebut civil society dalam bentuk LSM, ormas, relawan, rukun warga, serikat buruh, koperasi petani dan lain-lain menjadi sentral dalam pembangunan.
Jika demokrasi yang stabil ini dijalankan dengan kesadaran tinggi di masyarakat bahwa mereka adalah pelaku aktif pembangunan, maka impian keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukanlah hal yang mustahil terwujud.