“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Penggalan surat Al-Baqarah ayat 183 ini selalu menjadi pembuka tausiyah para penceramah dalam menyambut bulan Ramadhan, mengingatkan orang-orang mukmin atas kewajiban untuk berpuasa. Para jamaah pun segera memulai persiapan dalam menyambut Ramadhan, seolah-olah sudah sama paham bahwa kita sedang bertemu bulan yang dimuliakan, bulan yang memiliki malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Ditengah-tengah kesibukan mempersiapkan segala keperluan fisik, kita juga perlu mempersiapkan hati dan jiwa kita untuk bertawadhu dan mengeraskan tekad untuk memperbanyak amalan dan ibadah.
Dengan ramainya umat muslim yang ada diseluruh dunia, tentunya ada banyak budaya-budaya yang menghiasi dalam menghidupkan ramadhan. Kita merasakan kegembiraan akan datangnya bulan yang dimuliakan ini. Walaupun begitu, sekiranya hilang khidmat dan khusuk kita dalam menjalankan ibadah ramadhan, hal ini tentu sangat disayangkan karena bertolak belakang dengan apa yang kita niatkan untuk dicapai pada akhir Ramadhan yakni meningkatkan ketakwaan, ketundukan kita kepada Allah SWT.
Puasa bukanlah ibadah yang baru saja diperkenalkan oleh nabi Muhammad, karena dalam ayat yang diatas Allah telah memberikan penjelasan bahwa puasa (yang pastinya penuh tantangan dan mengharapkan keseriusan ini) juga diperintahkan kepada manusia-manusia sebelumnya, kepada umat-umat pengikut para rasul dan para nabi sebelumnya, kepada semua manusia yang mendapatkan risalah ketuhanan tidak memandang warna kulit, asal, dan latar belakang.
Sebab itu amalan puasa ini juga telah menghasilkan banyak insan-insan hebat yang sukses dalam puasanya, dan berhasil meningkatkan ketaatannya kepada Allah. Juga amalan puasa dan bulan ramadhan ini khususnya juga telah menjadi saksi jutaan manusia yang gagal merasakan khidmatnya ramadhan, dan hanya mengeluarkan jerih payahnya saja untuk lapar dan haus, sebagaimana peringatan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW:
“Banyak manusia yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan dari puasanya itu, melainkan lapar dan dahaga.” (HR Ibnu Majah)
Jika kita membaca ataupun mengkaji agama-agama besar didunia, yang pada umumnya adalah agama samawi, dan pada juga dikenal sebagai
Abrahamic Religions, agama monotheis, kesemuanya memiliki risalah berpuasa yang memiliki durasi kurang lebih 1 bulan lamanya. Inilah bukti bahwa apa yang Allah nyatakan bahwa ini diwajibkan kepada umat sebelumnya adalah satu pernyataan yang jelas dan benar, dan menjadi pengingat bagi kita yang hidup sekarang.
Dalam menghidupkan ramadhan adakalanya kita terlebih dalam bersikap dan merayakan, sehingga muncul fenomena-fenomena berlebih-lebihan yang tidak sering bertolak belakang dengan apa yang kita usahakan dalam mencapai kesyahduan dalam beribadah. Kita memasak ataupun berbelanja makanan berbuka yang lebih dari cukup, kita menyiapkan pakaian-pakaian baru lebih dari kemampuan kita, dan sebagainya.
Di negara Eropa Barat, ataupun Asia Timur yang Islam adalah menjadi agama yang asing, muslim dari berbagai macam asal bangsa yang minoritas merayakan Ramadhan dengan sedikit keterbatasan. Dari keterbatasan ini kita melihat bahwa pokok-pokok agama Islam (ushuluddin) yang walaupun berasal dari berbagai budaya adalah sama dan tidak jauh berbeda. Dan pokok-pokok ini yang memberikan kita kekhusyuan dalam berramadhan, pokok-pokok agama yang belum lagi terlalu banyak dihias dengan budaya-budaya yang sebagiannya baik dan sebagiannya justru menjauhkan kita dari kekhusyuan.
Ramadhan adalah bulannya ibadah dan amal, dimana Allah memberikan pahala yang berlipat dan mengkhususkan untuk memberikan ganjaran puasa olehNya sendiri. Sekiranya tidak lebih penting dari urusan nyawa dan agama, ada baiknya urusan lain kita tunda sebisanya setelah lewat bulan Ramadhan, supaya kita dapat mencurahkan perhatian dan jerih payah kita untuk mengusahakan amal ibadah dalam rangka mendapatkan pahala yang meningkatkan ketaqwaan kita.
Banyak urusan dunia yang sekiranya masuk bulan puasa, juga menjadikan kita terasa untuk semakin terdesak untuk melakukannya, dimulai dari makanan, penampilan, perniagaan, dan memang begitu adanya. Manusia dengan segala kelebihannya juga memiliki perkara yang akan menjerumuskannya sendiri, yakni hawa nafsu keinginannya yang tidak terkendali. Hal ini yang menjadikan puasa adalah satu usaha yang sangat besar tantangannya, tetapi manis hasilnya yakni berupa meningkatnya ketaataan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Untuk ramadhan ini, mari kita coba heningkan ramadhan kita, mengintrospeksi diri kita, melakukan amal-amal shalih yang kita adalah pelaku utamanya, yang tangan kita adalah alat yang utama digunakan. Menata kegiatan kita dalam hati yang tawadhu, dari menjelang sahur hingga tertidur kembali, dengan mengintensifkan amalan-amalan ibadah sunnah yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Mari kita usahakan ramadhan ini dengan amal-amal shalih, dan menghindari berlebih-lebihan yang tidak membantu kita menyempurnakan ibadah, serta menjauhi segala kemaksiatan yang menjadikan kita jauh dari kebenaran. Kita juga berharap semoga Allah memberi kemudahan dan kesabaran untuk kita menjalani semua ini. Pada akhirnya kita juga berharap Allah masukkan kita dalam golongan orang-orang yang bertaqwa.
Selamat Berpuasa. Taqabalallahu minna wa minkum.
Kuala Lumpur, 2 April 2022.
Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/ibrah/20220402-heningnya-ramadhan