Oleh: Bey Abdullah
Belajar agama adalah salah satu aspek penting dalam membangun fondasi moral dan spiritual manusia. Pemahaman yang baik tentang agama dapat memberikan pedoman dalam menjalani kehidupan dan menghadapi berbagai tantangan. Untuk masyarakat Muslim, pendidikan Islam menjadi dasar bagi penguatan iman, etika, dan akhlak. Di tengah perkembangan zaman yang dinamis, sangat penting untuk memberikan pendidikan agama yang tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks pendidikan non-formal, reformulasi kurikulum menjadi penting agar anak-anak dan remaja mendapatkan pendidikan agama yang relevan dan sesuai dengan tantangan zaman.
Salah satu topik utama dalam pendidikan agama Islam adalah fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu Muslim, seperti shalat, puasa, zakat, dan akhlak mulia. Pendidikan non-formal bisa menjadi wadah yang efektif untuk menyampaikan pelajaran fardhu ‘ain ini kepada berbagai kalangan. Di samping aspek ritual dan ibadah, pendidikan Islam juga mencakup akidah dan tasawuf, yang membantu dalam menumbuhkan keimanan dan ketakwaan yang mendalam. Kurikulum yang baik dalam pendidikan non-formal harus bisa menggabungkan aspek-aspek ini agar peserta didik mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang kewajiban mereka sebagai Muslim.
Di Indonesia, pendidikan Islam sudah memiliki perkembangan yang cukup baik dan sistematis. Banyak lembaga pendidikan non-formal seperti madrasah diniyah, pesantren, dan lembaga tahfiz yang memberikan pendidikan Islam dengan metode yang beragam. Sistem pendidikan agama di Indonesia bahkan telah terintegrasi dengan baik dalam sistem pendidikan nasional. Meski demikian, reformulasi kurikulum untuk pendidikan non-formal masih diperlukan agar lebih responsif terhadap perubahan dan kebutuhan zaman. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain, seperti Malaysia dan Mesir, yang memiliki fokus pada kurikulum berbasis kajian klasik di madrasah-madrasah mereka. Mesir, misalnya, lebih menekankan kajian turats (karya klasik Islam) di tingkat pendidikan tinggi, sementara Malaysia cukup banyak beradaptasi dengan metodologi pembelajaran modern di pendidikan agama.
Dalam mereformulasi kurikulum pendidikan non-formal, perlu dilakukan pembaharuan paradigma belajar yang lebih menekankan pada pemaknaan dan kemampuan belajar secara mandiri. Fokus pendidikan agama harus beralih dari sekadar hafalan menuju pemahaman mendalam. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran dan hadits bisa dijadikan fokus utama, sehingga peserta didik mampu memahami relevansi ajaran Islam dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini diharapkan akan melahirkan generasi yang bukan hanya menghafal ayat-ayat agama, tetapi juga mampu memaknai dan mengamalkannya dengan lebih baik.
Pembelajaran agama yang berpusat pada referensi pokok, yaitu al-Quran dan hadits, perlu menjadi dasar dalam reformulasi kurikulum non-formal. Pendidikan yang berbasis pada al-Quran dan hadits akan memberikan pemahaman agama yang autentik dan jauh dari ajaran-ajaran yang menyimpang. Fokus pada sumber-sumber primer ini bisa didukung dengan kurikulum yang memberikan pengajaran tafsir dan syarah hadits sederhana, yang bisa dipahami oleh peserta didik. Selain itu, peserta didik perlu diajarkan cara merujuk pada sumber-sumber ini secara langsung, sehingga mereka lebih terlatih dalam memahami ajaran agama dari dasar.
Salah satu elemen yang semakin populer dalam pendidikan Islam adalah program tahfiz al-Quran, yang berfokus pada penghafalan al-Quran. Dalam pendidikan non-formal, program tahfiz menjadi pilihan yang diminati karena memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mendalami al-Quran. Namun, penting untuk mengombinasikan program tahfiz dengan pemahaman tentang makna ayat-ayat yang dihafal. Hal ini dapat membantu peserta didik menginternalisasi ajaran al-Quran dan melihatnya sebagai panduan hidup yang relevan.
Alternatif kurikulum untuk tahfiz dan pembelajaran al-Quran dapat meliputi metode pengajaran yang lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan peserta didik. Program menghafal dapat dimulai dengan surat-surat pendek dan dilanjutkan dengan surat yang lebih panjang. Selain itu, bisa juga dilakukan pendekatan tematik, di mana peserta didik menghafal ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu, seperti etika atau kehidupan sosial. Dengan metode ini, peserta didik tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami konteks ajaran yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut.
Di Madrasah Tahfiz Deeniyat (MTD) Darulfunun program belajar Al-Quran ditekankan pada bisa membaca Al-Quran kemudian dilanjutkan dengan menghafal surat-surat didalam Al-Quran. Membaca Al-Quran dilakukan dengan metode Iqra yang sudah populer di Indonesia kemudian dilanjutkan dengan rutinitas membaca Al-Quran. Untuk tahfiz dan hafalan menggunakan metode tikrar (pengulangan) mengadopsi metode yang dikembangkan oleh Syaamil Quran. Dengan metode ini diharapkan siswa dapat lebih mudah mengembangkan kemampuan menghafal. Kemampuan ini menjadi dasar pengembangan kemampuan siswa didik dalam tingkatan yang lebih tinggi nantinya. Selain itu yang penting juga adalah tentang fardhu ain.
Pada akhirnya, reformulasi kurikulum pendidikan Islam untuk non-formal adalah langkah penting untuk membekali generasi muda dengan pemahaman agama yang relevan dan aplikatif. Mempertimbangkan sistem pendidikan formal sekolah yang sudah matang, maka pendidikan non-formal seperti ini menjadi jawaban untuk menambah kemampuan siswa didik. Pendidikan agama yang dirancang dengan baik akan membantu menciptakan generasi yang mencintai al-Quran, mampu mengamalkan nilai-nilai Islam, dan memiliki kecintaan yang mendalam terhadap agama mereka. Melalui pendekatan yang lebih menekankan pada pemaknaan, pemahaman sumber-sumber pokok, dan pengajaran tahfiz yang fleksibel, kurikulum pendidikan Islam non-formal bisa menjadi lebih efektif dan bermanfaat bagi perkembangan spiritual peserta didik.
Artikel asli: https://perguruandarulfunun.id/20241109-reformulasi-pendidikan-islam-non-formal