Foto: Lembaga Hikmah – Hamka. Cetakan ke-4 (1966).
Salah satu masalah besar kita sebagai pembelajar adalah memframing karya dan pendapat orang lain dengan narasi sendiri. Jika sudah terjadi seperti itu, lebih tepat framing ataupun narasi tersebut diakui sebagai buah tangannya, dan pikiran orang yang disebutnya adalah referensi. Hal ini lebih membantu dalam membangun apa yang disebut oleh akademisi kontribusi pada keilmuan.
Seperti contohnya tulisan ini berharap dapat menstimulus dan dicarikan bahasanya dalam bahasa yang lebih intelek oleh kawan-kawan akademisi yang membaca disini. Mengemasnya dalam framework yang lebih solid dan akhirnya secara kolektif partisipatif memberikan kontribusi secara estafet pada peradaban. Tentu tidak semudah itu, tapi patut diharap dan dicoba.
Salah satu ibrah dalam belajar dengan membaca adalah dengan mencoba menyelami cara berfikir, metodologi, narasi dan tujuan yang ingin disampaikan penulis. Bahasa dan alat apalagi tren kontekstual menjadi hambatan tersendiri, yang akhirnya sengaja atau tidak disengaja, maksud yang ingin disampaikan terdistorsi.
Mungkin cara seperti ini dapat disebut “high orders thinking skill”.
Menariknya disinilah peran berikutnya para pembelajar, bukan untuk meluruskan, tetapi melanjutkan membangun bangunan dari pondasi-pondasi yang sudah dimulai sebelumnya.
Menarik dalam buku Hamka adalah cara bahasa dan alur yang disampaikan, pendekatan naratif orang pertama dan kedua, ataupun seperti salinan khutbah menjadikan buku ini seolah hidup berkomunikasi dengan pembaca.
Walaupun pernah dikatakan wahabi dan tundingan khas identik dengan persekusi (bullying) karena berbeda, banyak karya Hamka sebetulnya hemat dalil, salah satu corak khas pemikiran kaum muda. Corak lain yang menonjol adalah persoalan moderasi, baik antara sains dan agama, akal dan dalil, aqli dan naqli, hujjah dan konteks, juga persoalan membangun harapan untuk masa depan.
Taufik Abdullah menyebutkan Hamka sebagai generasi kedua pergerakan kaum muda. Tapi lebih tepatnya Hamka adalah generasi ketiga, karena beliau diajar oleh generasi kedua bukan oleh Ayahnya sendiri.
Generasi pertama kaum muda, masih meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi pondasi muslim moderat di Indonesia. Diantara mereka sekawan adalah KH Hasyim Asyari, KH Ahmad Dahlan, Haji Abdul Karim Amrullah, Syekh Abbas Abdullah, A. Hasan, dan banyak lagi. Belum lagi mereka yang ada dibelahan Nusantara lain, seperti Singapura dan Malaysia.
Karya moderasi mereka menjadikan mereka dikatakan sebagai pembaharu oleh murid-muridnya, dan tidak jarang eksklusifitas menjadikan murid-murid ini secara emosional tidak sengaja membanding-bandingkan. Mereka meninggalkan murid-murid yang juga mampu menjaga corak moderasi ini di zaman berikutnya. Ada Muhammadiyah, ada NU, ada Gontor, ada Diniyah School sebagai generasi kedua, dan banyak lainnya.
Sehingga pantas saat ini, kita merasa kehilangan ahli-ahli moderasi ini. Ditengah kegalauan dan framing konflik beragama saat ini, dimasa kita kehilangan keberpihakan atas kultur keagamaan, apakah berharap pada murid-murid mereka yang mungkin sudah mencapai generasi kelima untuk memulai kembali dan mencoba inklusif sedikit berlebihan? Mereka harus muncul dan dimunculkan sekarang untuk meneruskan perjuangan bukan justru menjadi antitesis guru-gurunya.