*refleksi ceramah dakwah kontraproduktif karena mendapat penolakan dari masyarakat, pengamatan beberapa peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi
Kami dibesarkan di kalangan Muhammadiyah dan mendapat pertentangan di kawasan, dahulu Muhammadiyah tidak sebesar sekarang. Walaupun begitu yang bisa menjadi alasan kuat adalah kami tinggal disana, sehingga waktu juga yang membuktikan konsistensi dan mengobati luka yang ada.
Begitu sulitnya berdakwah lintas batasan, bahkan setelah lama merantau pun kembali berdakwah di daerah asal juga tidak semudah yang dikira.
Bahasa menjadi kendala, budaya menjadi halangan, satu dua hujjah tentang keadaan tidak akan merubah situasi, jika Allah yang memberikan hidayah, kemudian ikhtiar adalah bagian kita.
Bukan artinya kita diam, artinya dalam berdakwah dan ikhtiar kita perlu strategi dan pendekatan.
Mengatakan “saya” dikatakan arogan, menggunakan “adeen” dikatakan kasar, menggunakan “ambo” dikatakan gaya, menggunakan “ana” kearab-araban, begitulah yang diributkan bukan konten dari permasalahan, tapi berputar-putar di tepi kemudian kusut.
Salah satu yang terpenting dahulu ketika diberi kesempatan dalam training future leaders, mereka muda-muda sekali. Adalah jika berkarir sebagai pemimpin maka penting untuk memiliki kompetensi, dan lebih dari itu adalah memiliki segmented market, kaum atau masyarakat yang jelas. Siapa orangnya, bagaimana kondisinya, dsb.
Akan kurang produktif ketika kita berbicara wacana tetapi kita bukan eksekutor, akan kontra produktif ketika kita melempar ide tetapi mendapat penolakan dari cara.
Walaupun legitimasi memberikan otorisasi, yang dalam hal tentu patut diberlakukan, seperti saya di undang, saya memiliki hak sebagai pemimpin, saya ditunjuk, dsb. Tetapi ianya bukan satu-satunya jalan yang terus dipakai, karena ada emosi dan sentimen yang akan berlaku.
Cara yang terbaik dan efektif adalah menyampaikan kebenaran, kebaikan, perbaikan itu sendiri, dengan agen/orang/anggota masyarakat itu sendiri.
Doing good from the start.
Satu kisah sahabat dari Ghifar yang masuk Islam di awal kenabian, seorang revolusioner, ketika ditanya apa yang berikutnya perlu dia lakukan, kata nabi kembali kaummu.
Kemudian dia berkata saya tidak akan kembali sampai saya menyampaikan kebenaran di hadapan penduduk Mekkah, kemudian dia pergi ke depan Ka’bah dan berteriak, dan berakhir dipukuli oleh orang-orang. Begitu juga yang dialami oleh sahabat Omar.
Nabi sudah menyampaikan strategi dan rencana, tetapi maksud hati memang sudah dilawan, maka hadapi akibatnya.
Begitu juga pelajaran dari nabi, rasul, tokoh dakwah dahulu, umum dari mereka adalah anggota dari kaum yang mereka dakwahi. Ataupun jika tidak, anak-anak didik mereka yang akhirnya berdakwah untuk kaum tersebut.
Belum lagi faktor umur, penampilan, anak siapa, kaum apa dan sebagainya. Ibnu Khaldun menguraikan lebih panjang lebar dan terperinci mengenai hal ini.
Belajar dari banyaknya upaya dakwah kita yang berkonflik, ada rasanya kita insaf dan mempertimbangkan faktor-faktor yang kami sebut diatas, . Fokus kepada masyarakat yang memang kita memiliki kuasa pengaruh didalamnya. Apalagi dengan kondisi kita yang memberikan gap ruang dengan keadaan masyarakat, baik pendidikan, ataupun ekonomi.
Jika hidayah adalah milik Allah, maka ikhtiar bangkit adalah milik manusia. Semoga kita dilindungi dari kesalahpahaman dan konflik diantara sesama muslim.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11).
Wallahualam