Site icon Majalah Grak

Politik Trump dalam Isu Perbatasan Mexico dan Gaza

Politik Trump dalam Isu Perbatasan Mexico dan Gaza

Politik Trump dalam Isu Perbatasan Mexico dan Gaza

children standing next to borderline wall

Peran seorang pemimpin dalam mengelola konflik perbatasan sangatlah penting untuk memastikan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan kebijakan. Namun, seringkali para pemimpin politik memanipulasi isu-isu ini untuk kepentingan pribadi mereka. Tidak terkecuali dalam isu regional maupun global. Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump, adalah contoh utama bagaimana tokoh politik memanfaatkan krisis perbatasan untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan membentuk ulang lembaga administratif.

Penanganannya terhadap perbatasan AS-Meksiko dan sikapnya terhadap konflik Gaza menunjukkan bagaimana politisi ini dalam periode keduanya masih menggunakan isu keamanan perbatasan untuk menggugah emosi publik, untuk membenarkan pergantian agensi, dan menguntungkan basis politik mereka. Alih-alih fokus pada solusi berkelanjutan, Trump lebih mengutamakan retorika dan keuntungan politik daripada pemerintahan yang praktis dan efisien.

Di perbatasan AS-Meksiko, kebijakan Trump sebagian besar dipengaruhi oleh ideologi “America First”-nya, yang menekankan pengendalian imigrasi yang ketat, perluasan tembok perbatasan, dan demonisasi migran (memberikan label buruk pada imigran). Pemerintahannya menerapkan kebijakan seperti program “Remain in Mexico”, yang memaksa pencari suaka untuk tinggal di Meksiko sementara kasus mereka diproses. Selain itu, Trump mendorong penerapan Title 42, aturan yang pada masa pandemi yang memungkinkan pengusiran migran dengan alasan kekhawatiran kesehatan masyarakat. Meskipun kebijakan ini dibenarkan sebagai langkah yang diperlukan untuk keamanan perbatasan, mereka juga menjadi alat mobilisasi politik, memperkuat citranya sebagai pemimpin nasionalis yang mengutamakan keamanan Amerika daripada kepedulian kemanusiaan.

Salah satu cara signifikan Trump memperkeruh situasi perbatasan adalah dengan merombak lembaga-lembaga administrasi yang mengawasi kebijakan imigrasi. Alih-alih meningkatkan efisiensi keamanan perbatasan, pemerintahannya sering mengganti pejabat kunci di Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP), dan Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) dengan loyalis yang sejalan dengan ideologi politiknya. Praktik ini menyebabkan ketidakstabilan dan ketidakefisienan, karena arah kebijakan sering kali berubah untuk mencocokkan agenda politik Trump daripada tujuan jangka panjang terkait keamanan perbatasan. Pendekatannya ini menunjukkan bagaimana politisi memanipulasi struktur administratif untuk melayani kepentingan pribadi dan partai, alih-alih fokus pada pemerintahan yang efektif. Sekali lagi isu perbatasan memang adalah isu kedaulatan, tetapi juga menyangkut manusia yang mencari kehidupan.

Selain itu, terkait dengan Gaza, penanganan Trump terhadap masalah Gaza mengikuti pola politik yang bertujuan untuk memperkuat dukungan dari basis pemilih tertentu. Dukungan pemerintahannya terhadap Israel, Trump lah yang melakukan langkahkontroversial mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memotong bantuan untuk Palestina, hal ini yang semakin memanas konflik tersebut. Meskipun pemerintahannya mengklaim langkah-langkah ini demi perdamaian dan stabilitas, kebijakan tersebut secara signifikan mengubah keseimbangan kekuatan, memperburuk kondisi kemanusiaan di Gaza, yang kemudian kita lihat beberapa krisis kemanusian dan justifikasi terhadap kerusakan Gaza dan hilangnya puluhan ribu nyawa. Retorikanya, terutama di media sosial dan pidato-pidatonya, justru memperburuk ketegangan alih-alih mendorong solusi diplomatik, yang menunjukkan bagaimana konflik perbatasan dapat dipolitisasi untuk meraih keuntungan politik domestik. Selain itu, latar belakang Trump sebagai pengusaha, khususnya di industri perhotelan dan properti, menambah dimensi lain dalam pendekatannya yang sepertinya terlihat akan mengambil keuntungan dalam pembangunan kawasan yang sudah hancur tersebut.

Aspek penting lainnya dari manuver politik Trump adalah kemampuannya menggunakan isu perbatasan untuk menyerang lawan politik dan membenarkan perubahan kebijakan yang drastis. Di perbatasan Meksiko, ia berulang kali menyalahkan Partai Demokrat atas lemahnya undang-undang imigrasi, menggunakan krisis ini sebagai alat untuk mendorong pergeseran kebijakan yang sesuai dengan tujuannya. Demikian pula, dalam konflik Gaza, tindakan pemerintahannya merongrong saluran diplomatik tradisional, menyingkirkan lembaga internasional yang sebelumnya memediasi konflik tersebut. Kebijakan-kebijakan di kedua kasus ini mencerminkan pola di mana politisi menciptakan atau memperbesar krisis untuk membenarkan perubahan yang menguntungkan posisi politik mereka, bukannya menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

Kekhawatiran nyata dalam situasi ini adalah bahwa lembaga-lembaga administratif yang bertanggung jawab atas pengelolaan perbatasan seharusnya fokus pada efisiensi dan efektivitas, bukan agenda politik. Idealnya, lembaga-lembaga ini harus mengimplementasikan kebijakan berbasis data yang memastikan keamanan nasional sambil menyeimbangkan pertimbangan kemanusiaan. Namun, ketika politisi campur tangan dengan mengganti kepemimpinan secara sering atau mengimplementasikan kebijakan berdasarkan ideologi daripada pertimbangan praktis, hasilnya adalah sistem yang dilanda ketidakefisienan dan ketidakstabilan. Masa jabatan Trump menunjukkan bagaimana kebijakan perbatasan yang dipolitisasi sering kali berujung pada kekacauan administratif daripada pemerintahan yang efektif.

Dengan mengejutkan, pendekatan Trump ini nampaknya berhasil; ia menyoroti bagaimana politisi memanipulasi persepsi publik dengan menggambarkan isu perbatasan sebagai ancaman eksistensial. Dengan menggambarkan imigran di perbatasan Meksiko sebagai kriminal atau teroris, ia meningkatkan ketakutan publik, membuat kebijakan ekstrem lebih diterima. Hal demikian pula pada sikapnya terhadap Gaza, di mana ia menyajikan narasi sepihak yang mendukung Israel, memperburuk perpecahan dan membatasi potensi upaya diplomatik yang seimbang. Taktik-taktik ini melayani untuk mengumpulkan dukungan politik tetapi tidak banyak menyelesaikan masalah yang mendasar.

Pada kenyataannya, pengelolaan perbatasan yang sejati memerlukan administrasi yang stabil dan kompeten yang mengutamakan pemecahan masalah yang adil bagi kedua belah pihak daripada keuntungan politik. Pergantian kepemimpinan yang berulang dan pergeseran kebijakan yang didorong oleh motivasi politik melemahkan kapasitas institusional. Hal ini terlihat pada akhir masa jabatan Trump, di mana kebijakan imigrasi tetap berubah-ubah, dan hubungan diplomatik di Timur Tengah terus menderita akibat dampak masa jabatannya. Campur tangan politik dalam lembaga administratif akhirnya menghasilkan ketidakefisienan, seperti yang terlihat dalam penanganan perbatasan AS-Meksiko dan krisis Gaza. Sampai saat ini para politisi AS melihat isu internasional sebagai isu regional yang dia memiliki kekuasaan mutlak untuk berpartisipasi.

Pemimpin masa depan dari semua negara, harus belajar dari contoh-contoh ini dan memastikan bahwa kebijakan perbatasan mengutamakan keberlanjutan daripada keuntungan politik jangka pendek. Kesinambungan pembangunan kawasan terletak pada usaha pemain regional maupun internasional untuk saling menghargai satu sama lain. Walaupun sulit untuk mengakuinya, pendekatan Trump terhadap isu-isu perbatasan, baik di Meksiko ataupun Gaza, mencontohkan bagaimana politisi ini memanipulasi krisis untuk mendorong agenda pribadi mereka daripada fokus pada efisiensi pemerintahan. Prospek perombakan lembaga administratif, penerapan kebijakan yang dipenuhi muatan politik, dan penggunaan retorika yang menakut-nakuti menggambarkan bagaimana konflik perbatasan dapat dimanipulasi untuk meraih keuntungan elektoral dan ideologis. Sebagai manusia yang beradab dan terdidik seharusnya kita melihat pengelolaan perbatasan yang efektif adalah tentang stabilitas jangka panjang dan keseimbangan kemanusiaan, namun ketika politisi mengutamakan kesetiaan politik di atas efektivitas institusional, hasilnya adalah sistem yang terpecah dan tidak efisien. Hal ini tentu akan mengecewakan banyak pihak.

References

  1. Reedy, J., O’Brien, B. G., & Hurst, E. H. (2023). Pandemic politics: Immigration, framing, and Covid-19Journal of Race, Ethnicity, and Politics8(2), 246-266.
  2. Montange, L. (2022). Political detentions, political deportations: Repressive immigration enforcement in times of trumpEnvironment and Planning D: Society and Space40(2), 332-350.
  3. Laurence Benenson and Nicci Mattey. Trump’s First 100 Days: Potential Immigration Actions. National Immigration Forum.
  4. Betsy Klein and Lex Harvey. Trump suggests his plan for Gaza Strip is to ‘clean out the whole thing’. CNN Politics.
  5. Sam Phelps. How Trump’s suggestion to ‘clean out’ Gaza sent shockwaves through the Middle East. The Conversation.
  6. Ibrahim Khazen and Betul Yilmaz. Thousands protest Trump’s ‘clean out’ Gaza proposal in Egypt’s Rafah border crossing. Anadolu Agency.
  7. https://www.cbp.gov/newsroom/stats/cbp-enforcement-statistics/title-8-and-title-42-statistics
  8. https://en.wikipedia.org/wiki/Title_42_expulsion

Artikel asli: https://darulfunun.id/insight/policy-initiatives-collaborative-engagement/20250203-politik-trump-dalam-isu-perbatasan-mexico-dan-gaza

Exit mobile version