Abu Hanifah tinggal di Kufah dikenal dengan otaknya yang cerdas, banyak persoalan yang kemudian ditanyakan kepadanya dan dijawabnya dengan memuaskan si penanya. Suatu hari ada satu persoalan yang sedikit susah, Abu Hanifah pun berkata kepada si penanya coba tanyakan ke fakih yang lebih paham. Kemudian si penanya pun berangsur dan kembali memberitahukan persoalannya sudah diselesaikan.
Abu Hanifah pun penasaran, seperti apa jawaban dari fakih tersebut. Terkagum dengan jawaban faqih tersebut lalu Abu Hanifah pun mendatanginya dan bertanya orang-orang datang kepadanya tentang persoalan, ada 60 persoalan yang dicatatnya, bolehkan sang fakih memeriksanya.
Fakih itu adalah Imam Hammad ibn Sulayman seorang shagir tabiin. Konon beliau belajar dari Anas bin Malik. Madrasah tempat beliau mengajar juga dipercaya adalah Madrasah Ali yang dibangun bersama Ibn Masud di Kufah untuk membangun keilmuan.
Fakih itu pun membaca dan mengatakan hanya 20 jawaban yang boleh diterima, dan dijelaskan lah kekurangan-kekurangan lainnya, salah satunya adalah kekurangannya bersandar pada Hadits. Sejak saat itu Abu Hanifah belajar di madrasah tersebut sebagai murid Imam Hammad dan juga bertemu dengan para tabiin yang lainnya. Dari belajarnya itu beliau mampu menyelesaikan lebih banyak permasalahan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Abu Hanifa adalah contoh bagaimana logika yang kuat semakin diperkuat dengan pondasi yang kuat. Logika berfikir (qiyas) kemudian diakui sebagai salah satu sumber dalam proses pembentukan fikih.
Seseorang qadi zaman utsmaniyah berkata kekuatan seorang qadi adalah dikekuatan berfikirnya, sehingga untuk memaksimalkan berikan akses kepadanya sumber-sumber referensi.
Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/ibrah/20240527-pentingnya-memahami-ilmu-secara-terstruktur