Site icon Majalah Grak

Pemimpin Tak Sepatutnya Mencuri

Pemimpin Tak Sepatutnya Mencuri

Pemimpin Tak Sepatutnya Mencuri

in distant photo of tree on landscape field

𝐡𝑒𝑦 π΄π‘π‘‘π‘’π‘™π‘™π‘Žβ„Ž

Pemimpin adalah panutan bagi masyarakat. Kepemimpinan laksana pohon besar yang meneduhi siapa saja yang berada dibawahnya. Akar-akarnya memberikan pondasi kuat nilai-nilai Islami yang menjadi standar dan tolok ukur dari suatu masyarakat. Kepemimpinan adalah amanah, sehingga yang mencarinya akan diuji dengan tenaga dan jerih payah. Sedangkan mereka yang diberi amanah akan selalu diberikan keberkahan dan ketenangan dalam menjalaninya. Kepemimpinan ibarat dua mata pisau yang satu diarahakan kepada kedzaliman dan satu lagi diarahkan kepada penerima amanah, yang sewaktu-waktu khianat dan dzalim akan memberikannya kerugian besar mempertanggung jawabkannya kepada yang maha kuasa.

Mereka yang memimpin seharusnya dapat menjaga integritas dan bekerja untuk kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Namun, kenyataannya, sering kali kita menyaksikan pemimpin yang malah berperilaku dzalim, korup dan mencuri. Ketika seorang pemimpin mencuri, mereka bukan hanya merugikan rakyat secara ekonomi, tetapi juga menghancurkan kepercayaan dan standar moral masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu sektor yang paling terdampak akibat praktik mencuri adalah hancurnya standar etika moral masyarakat, jika semua hal dapat dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan maka pemimpin yang seperti ini hanya meletakkan neraka didepan pintu kuburnya. Mencuri yang sistematis seperti korupsi memberikan kerugian yang besar pada pendidikan, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam membangun masa depan.

Siapa yang diberi ataupun mengambil kepemimpinannya perlu selalu bertanya-tanya dalam dirinya, bagaimana amanah ini didapat, apakah diterimanya dari pemegang amanah sebelumnya, atau apakah diterimanya dari mandat orang banyak. Ataukah justru amanah yang didapatnya diambil dari manufer politiknya yang tidak jauh dari hal-hal yang tidak etis seperti kudeta, mencuri, ataupun menyuap para pemilih. Amanah yang diambil dengan cara yang tidak betul adalah awal dari hilangnya keberkahan dari Allah swt. Bagaimana mungkin seseorang Muslim mengaku mendapat amanah dan menjalankan kepempimpinan dengan cara mencuri?

Politik hari ini menguji para pemimpin-pemimpin Muslim terhadap tindakan-tindakan dzalim seperti itu. Politik hari ini menguji para pemimpin-pemimpin Muslim terhadap prinsip-prinsip Islam yang dianutnya. Apakah dia memahami agamanya, atau dia sedang menunggang agamanya untuk kepentingan ambisi pribadinya. Politik yang dzalim sering kali mengorbankan hak-hak dasar orang lain, dan juga hak dasar pendidikan yang dijamin oleh negara.

Politik yang tidak sehat sering kali menyebabkan alokasi anggaran pendidikan menjadi tidak tepat sasaran. Ketika pemimpin lebih fokus pada kepentingan pribadi atau kelompok daripada kesejahteraan rakyat, pendidikan menjadi sektor yang dikorbankan. Akibatnya, banyak fasilitas sekolah tidak mendapat perhatian, guru tidak menerima hak dan gaji yang layak, sehingga kualitas pendidikan menurun. Korupsi yang merusak pendidikan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap generasi yang menjadi harapan masa depan bangsa.

Selain itu, kepentingan politik yang dzalim seringkali menciptakan kebijakan yang tidak berpihak pada dunia pendidikan. Banyak program pendidikan yang seharusnya memberikan manfaat bagi siswa dan guru justru dijadikan alat politik untuk meraih dukungan. Program-program ini sering kali tidak berkelanjutan atau bahkan tidak efektif karena lebih mengutamakan citra politik daripada kemajuan pendidikan itu sendiri. Akibatnya, pendidikan menjadi terjebak dalam siklus politisasi yang merusak.

Dalam lingkungan yang diwarnai korupsi, nilai-nilai integritas dan kejujuran yang seharusnya ditanamkan melalui pendidikan menjadi terabaikan. Ketika anak-anak dan remaja menyaksikan pemimpin mereka yang mencuri dan dzalim, mereka bisa kehilangan harapan dan memandang rendah pentingnya integritas. Ini dapat berdampak pada pembentukan karakter generasi muda, yang seharusnya diarahkan untuk menjadi pemimpin masa depan yang jujur dan bertanggung jawab. Dan pemimpin yang seperti ini sepatutnya mendidik dirinya sendiri sebelum berbicara untuk mendidik orang lain.

Politik yang tidak berpihak pada pendidikan juga memperlebar kesenjangan sosial. Ketika anggaran pendidikan dipotong atau diselewengkan, sekolah-sekolah di daerah terpencil atau dengan akses terbatas sering kali menjadi korban utama. Sementara sekolah di perkotaan mungkin masih mendapatkan fasilitas memadai, anak-anak di daerah pedalaman harus berjuang dengan segala keterbatasan. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan memperkuat siklus kemiskinan yang sulit untuk diputus.

Pemimpin juga dapat tidak sengaja berlaku dzalim dengan sering kali menciptakan iklim pendidikan yang tidak sehat, di mana kritik atau aspirasi para pendidik dibungkam. Guru dan tenaga pendidik yang seharusnya memiliki kebebasan untuk mengungkapkan pendapat atau mengajukan inovasi demi perbaikan pendidikan, malah sering kali merasa takut akibat tekanan politik. Ini membatasi perkembangan sistem pendidikan dan menghambat terciptanya suasana belajar yang kreatif dan produktif.

Dalam beberapa kasus, pendidikan bahkan digunakan sebagai alat propaganda oleh pemimpin yang korup. Institusi-institusi pendidikan dijadikan arena pertarungan politik dan perebutan kekuasaan. Buku-buku pelajaran, kurikulum, atau program pendidikan bahkan bisa juga dimanipulasi untuk menampilkan citra pemimpin tertentu atau mengarahkan pemikiran generasi muda sesuai dengan agenda politik mereka. Ini tidak hanya mencederai objektivitas pendidikan, tetapi juga menanamkan pemahaman yang bias kepada siswa, yang pada akhirnya dapat merusak kesadaran kritis mereka. Pendidikan sepatutnya obyektif, dia berbicara tentang suatu pengetahuan bukan lebih kepada siapa yang membicarakannya.

Selain itu, pemimpin yang korup dan dzalim sering mengabaikan hak-hak tenaga pendidik. Guru yang menjadi ujung tombak pendidikan sering kali diabaikan, dengan gaji yang rendah atau tidak tepat waktu, serta fasilitas yang kurang memadai. Dengan kondisi yang tidak layak, guru menjadi kurang termotivasi untuk memberikan pengajaran terbaik. Akhirnya, pendidikan menjadi sektor yang lemah, padahal pendidikan adalah fondasi bagi kemajuan bangsa. Apakah pemimpin seperti ini ini layak disebut pemimpin?

Politik yang mencemari pendidikan juga membuat sulitnya pengembangan dan inovasi dalam sektor ini. Pendidikan seharusnya menjadi tempat untuk berinovasi, beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan mengasah kemampuan anak-anak untuk menghadapi masa depan. Namun, dengan kepemimpinan yang tidak berpihak pada pendidikan, perubahan dan inovasi ini menjadi sulit tercapai. Pendidikan akhirnya tertinggal, padahal tuntutan dunia dan persaingan yang semakin kompleks.

Pemimpin tak sepatutnya mencuri dan dzalim. Pemimpin yang seperti ini tidak patut disebut pemimpin. Pemimpin yang sejati membawa tanggung jawab besar dalam mengarahkan bangsa menuju kemajuan. Ketika politik dan ambisi menghancurkan pendidikan, yang menjadi korban utama adalah generasi muda, yang kehilangan peluang untuk berkembang dan berkontribusi. Jika pendidikan terus dikorbankan untuk kepentingan politik, maka masa depan bangsa berada dalam ancaman. Pemimpin yang khususnya berpolitik harus mampu menjaga nafsunya untuk tidak menjerumuskan dunia pendidikan dalam politik praktis. Kepemimpinan dan perebutan kekuasaan dengan cara yang dzalim hanya mengantarkannya kepada pintu siksa neraka. Pemimpin yang amanah dan mengutamakan kepentingan rakyat akan menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, demi terciptanya bangsa yang berakhlak dan berdaya saing tinggi. Kepada pemimpin seperti itu kita berharap keadilan, dan kepada pemimpin yang dzalim kita berharap Allah memberikannnya keadilan.

waalahu’alam

Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/ibrah/20241027-pemimpin-tak-sepatutnya-mencuri

Exit mobile version