Meski awal Ramadhan 1442 H diprediksi sama, namun mungkinkah perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, hari Raya Idul Fithri, dan Idul Adha untuk masa berikutnya dapat dihentikan sehingga syiar ketiga ibadah tersebut lebih menggema dan tidak terjadi kebingungan di kalangan umat Islam? Jawabnya adalah mungkin dan bahkan umat Islam sangat memungkinkan memiliki kalender kamariah yang bersifat internasional. Syaratnya, diperlukan sikap untuk menanggalkan kefanatikkan paham golongan, lalu melek dengan kemajuan IPTEK, dan membenahi interpretasi atas ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tentang hisab dan rukyat.
Selama ini perbedaan interpretasi teks tersebut telah melahirkan cara pandang yang berbeda pula terhadap rukyat di satu sisi dan hisab di sisi lain. Perbedaan pendapat tentang cara penentuan bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa bulan Ramadhan, hari Raya Idul Fithri, dan Idul Adha telah lama muncul dalam peradapan Islam. Pendapat pertama adalah kelompok pro rukyat yang menyebutkan bahwa penentuan awal bulan kamariah untuk pelaksanaan ibadah harus dengan cara rukyat, yaitu melihat bulan secara nyata/fisik dengan mata dan tidak boleh dengan cara hisab astronomi. Landasan yang dikemukan adalah beberapa hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alai wa Sallam disamping argumentasi rasional.
Ada hadits Rasulullah saw yang memerintahkan memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan ketika telah melihat hilal, yaitu: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya(hilal) beridulfithrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah (Diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan juga Muslim). Ada juga hadits yang melarang berpuasa dan beridul fithri sebelum melihat hilal, yaitu: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridul fithri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang awan terhadapmu, maka perkirakankah (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Kedua hadits di atas intinya adalah perintah melakukan rukyat untuk memastikan hilal. Sementara perintah melakukan perkiraan atau estimasi dalam hadits tersebut terjadi jika hilal tidak dapat dirukyat akibat langit berawan ditafsirkan dengan menggenapkan bilangan bulan yang sedang berjalan menjadi tiga puluh hari seperti dinukilkan dari hadits berikut: Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfithrilah juga karena melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban (menjadi) tiga puluh hari (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Di samping hadits-hadits di atas, pengusung paham pro rukyat juga menukilkan hadits tentang umat yang tidak memahami hisab, yaitu: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari (Riwayat al-Bukhari dan Muslim). Mereka memahami bahwa hadits ini sebagai ‘illat (alasan hukum) larangan penggunaan hisab, karena umat tidak mampu melakukan hisab. Oleh sebab itu, rukyat dipilih, karena tidak memerlukan peralatan canggih dan dapat dilakukan oleh setiap orang. Dari sisi rasionalitas, para ulama pendukung rukyat berpendapat bahwa hisab adalah sebuah spekulasi dan tidak menjamin kepastian (zhanni).
Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua justru mendukung menggunakan hisab. Tercatat orang pertama yang membolehkan penggunaan hisab adalah Mutarrif Ibn ‘Abdillah Ibn as-Syakhkhair, seorang ulama tabiin besar, lalu Imam asy-Syafa’i, dan Ibn Suraij, seorang ulama Syafi’iyyah. Dalil yang dipakai selain hadits-hadits Rasulullah saw juga beberapa ayat Al Qur’an. Terkait dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam yang menyebutkan tidak menggunakan hisab karena umat yang masih ummi, para ulama hisab memiliki interpretasi hadits yang berbeda dengan pendukung rukyat.
Pendapat kedua justru memahami bahwa hadits tersebut adalah sebuah penegasan ‘illat (alasan hukum) kenapa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan melakukan rukyat untuk memastikan awal dan akhir Ramadhan. ‘Illat (alasan hukum) perintah melakukan rukyat adalah karena umat ketika itu masih ummi (banyak yang belum pandai tulis baca) dan tidak menguasai hisab. Karenanya, dipilihlah rukyat sebagai cara yang lebih mudah. Artinya, jika di tengah-tengah umat Islam telah ada ahli hisab yang menguasai kemajuan ilmu astronomi, maka ‘illat (alasan hukum) menggunakan rukyat menjadi batal. Bahkan, andaikata hadits tersebut melarang menggunakan hisab tentu juga Rasulullah saw melarang baca tulis, karena keduanya disebut Rasulullah saw bersamaan. Jelas sangat tidak masuk akal jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya belajar baca tulis.
Ulama pendukung hisab menganggap keliru cara memahami hadits-hadits Nabi yang menyimpulkan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak mensyariatkan penggunaan hisab, namun memerintahkan menggunakan dan berpegang kepada hasil rukyat dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Menurut ulama kontemporer, Syaikh Yusuf Qaradhawi, interpretasi seperti itu keliru, karena dua alasan: Pertama, adalah tidak logis jika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan penggunaan hisab padahal saat itu umat masih dalam keadaan ummi (tidak mengenal tulis baca) dan hisab. Oleh sebab itu, Rasulullah saw mensyariatkan sarana yang lebih sesuai dengan kemampuan umat, yaitu rukyat.
Kedua, dalam hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam terdapat informasi yang mengisyaratkan penggunaan hisab dalam keadaan cuaca berawan. Hal ini terindikasi melalui hadits Nabi saw yang diriwayatkan al-Bukhari, yakni: Jangan kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan jangan kamu beridul fithri sebelum melihat hilal. Jika hilal tertutup oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah. Perintah melakukan perkiraan/estimasi dalam hadits ini dapat meliputi penggunaan hisab bagi umat Islam yang menguasainya. Penggunaan hisab tersebut diyakini dapat membawa kepada suatu kepastian yang menyakinkan. Apalagi kemajuan ilmu falak saat ini telah mengalami lompatan kemajuan yang sangat jauh dan mencapai tingkat akurasi. Andaikata terdapat kesalahan di dalamnya barangkali hanya sekitar 0,001 detik.
Ayat-ayat Al Qur’an juga telah mengisyaratkan penggunaan hisab. Dalam QS. ar Rahman,55:5, dan QS. Yunus,10:5, dinyatakan bahwa bulan dan matahari memiliki sistem peredaran yang telah ditetapkan Allah SWT dan peredarannya itu dapat dihitung. QS. Ya Sin,36:39-40 menyebutkan bahwa Allah swt telah menetapkan manzilah-manzilah (posisi) bagi perjalanan bulan mengelilingi bumi dan ini sebuah ketetapan Allah swt yang bersifat pasti. Oleh sebab itu, jika dihubungkan dengan QS. Ar Rahman, 5 di atas, maka perjalanan bulan dan posisi-posisinya dapat dihitung. Dalam QS. Ya Sin, 39-40 juga terkandung kriteria hisab untuk menentukan awal bulan baru, yaitu telah terjadi ijtimak/konjungsi (saat Bulan berada pada titik terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari) yang terjadi sebelum matahari terbenam/sebelum maghrib) dan pada saat terbenamnya matahari Bulan berada di atas ufuk.
Para ulama terdahulu menolak menggunakan hisab disebabkan oleh banyak hal, diantaranya karena interpretasi atas teks hadits yang berisi perintah berpuasa dan beridul fithri dengan melihat (rukyat) hilal. Padahal hadits tersebut tidak berisi larangan menggunakan hisab. Di sisi lain, karena pada zaman dulu memang terjadi percampuran antara ilmu nujum, tenung, ramalan yang bersifat syirik di satu sisi dan ilmu hisab di sisi lain.
Saat ini, ilmu falak (astronomi) telah jauh terpisah dengan ilmu ramalan yang bersifat syirik. Bahkan, perkembangan ilmu falak juga diiringi dengan penemuan peralatan canggih dan observatorium moderen yang dapat menangkap gerakan bintang-bintang dalam jarak jutaan tahun cahaya serta didasarkan kepada perhitungan astronomis yang akurat dan terpercaya sehingga dapat menentukan gerakan tersebut dalam hitungan per sekian ratus atau ribu detik. Juga telah dibuat stasiun di angkasa luar di sekitar planet bumi dan dapat menerima pesawat angkasa.
Lantas, apakah masih diragukan lagi keabsahan perhitungan ilmu hisab sehingga pertikaian permulaan Ramadhan, Idul Fithri, dan Idul Adha dapat dihentikan? Wallaahu A’lam Bishawwab.
dipublikasi juga di: https://iainbukittinggi.ac.id/selalu-sama-mengawali-ramadhan-mungkinkah/