Membincangkan dunia pendidikan akan selalu menarik. Tiada habisnya. Setiap orang merasa berkepentingan. Orang tua, Guru, dan pemerintah.
Namun jarang sekali kita mendengar anak-anak secara independen dilibatkan dalam pendidikan yang akan mereka tempuh. Mereka seakan hanya menjadi “objek penderita” saja. Baru-baru ini kita dihebohkan dengan penerapan sistem zonasi yang kemudian melahirkan tindakan protes dimana-mana.
Hingga kemudian sementara kebijakan tersebut pun dipending. Tapi diantara sekian banyak sengkarut benang kusut kebijakan zonasi tersebut yang terdengar paling lantang berteriak adalah para orang tua dengan kekhawatiran akan anaknya tidak bisa masuk sekolah favorit.
Seolah bila ananda bersekolah di sekolah favorit masa depan dijamin lebih cerah. Begitu mungkin yang dipikirkan. Pun juga dengan guru – sekolah yang khawatir kualitas sekolahnya menurun karena kualitas input yang menurun. Pada akhirnya prestise guru-sekolah pun menjadi turun. Sebuah ketakutan tersendiri apabila status sekolah unggulan kemudian berganti.
Seakan status sekolah unggulan-favorit adalah harga mati. Kebijakan yang saya yakin maksudnya baik. Mana ada sih kebijakan yang nggak baik?
Masalahnya kemudian aspek-aspek pendukung dari kebijakan itu yang tidak disiapkan dengan baik. Persebaran sekolah yang tidak merata. Pun juga kualitas pendidik yang tidak sama (setidaknya tidak memiliki standar) yang sama.
Setiap anak membawa fitrahnya masing-masing. Unik dan berbeda satu sama lain. Maka konsekuensinya setiap anak harus mendapatkan pendidikan yang unik sesuai dengan minat dan bakat. Tapi sistem pendidikan kita -masih- tidak memungkinkan untuk itu. Meskipun anak bisa menjalani pendidikan luar sekolah (PKBM, maupun HS), Namun secara mayoritas sekolah “konvensional” masih menjadi jalur yang ditempuh kebanyakan orang tua-anak. Kita mulai dari menentukan sekolah saja, siapa yang lebih dominan yang mengambil keputusan? Orang tua atau anak? Dari “kasus” suara-suara penolakan tentang zonasi maka yang lebih kelihatan adalah orang tua.
Kita -orang tua- tidak terbiasa untuk berdialog dengan anak tentang apa kebutuhan mereka. Berbekal mantra ampuh ” Anak kecil tahu apa? Orang tua itu sudah makan banyak pengalaman.” orang tua seringkali mendikte kemauannya pada anak. Bahkan jauh sebelum memilih sekolah, untuk memilih sekolah formal atau tidak pun seharusnya orang tua mengajak dialog anak. Karena saat ini pintu untuk mengembangkan bakat tidak hanya melalui sekolah formal.
Bahkan dalam salah satu forum di TED diprediksi bahwa sekolah konvensional akan semakin ditinggalkan karena perubahan perilaku belajar generasi Z. Saat ini, hal itu sudah kita rasakan bukan?
Tapi yang jadi masalah dan harus kita akui, budaya dialog yang sehat antara orang tua dan anak tidak banyak dimiliki oleh keluarga kita. Lantas, bagaimana kita memulainya?
Untuk menjadikan anak sebagai pusat pendidikan untuk dirinya sendiri harus dimulai dari usia yang sangat dini. Butuh kesabaran orang tua untuk “mencatat” kecenderungan-kecenderungan bakat anak sejak usia dini. Usia sampai tujuh tahun adalah usia yang paling krusial.
Tidak ada fase benar-salah bagi anak. Maka tugas orang tinggal mengamati mana kegiatan kegiatan yang membuat anak bahagia (enjoy). “Catatan-catatan” itu kemudian kita jadikan pijakan dalam menentukan jalur pendidikan anak. Namun sekali lagi kita punya masalah ketika dituntut untuk melakukan pencatatan pencatatan sejak dini.
“Kesibukan” orang tua di era saat ini mengalir adukan dirinya dari tumbuh kembang anak secara maksimal. Tekanan pekerjaan -dalam dunia yang dikendalikan nilai materialisme- yang semakin lama seakan menghabiskan seluruh waktu. Plus jangan lupa pengaruh gadget. Maka tak heran banyak orang tua kemudian menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada pihak lain -termasuk sekolah.
Maka menjadi sebuah keharusan sebagai fondasi awal untuk menjadikan anak sebagai pusat pendidikan adalah perubahan paradigma orangtua bahwa pendidikan anak itu tanggungjawab terbesar ada pada orang tua.
Bukan semata masalah materi atau biaya pendidikan saja. Tetapi juga materi pendidikan bagi anak. Jadi fungsi sekolah atau emacamnya adalah mendukung orang tua untuk menjalankan fungsi pendidikannya. Itu tidak akan mudah memang. Tapi masak sih tidak mau berkorban lebih untuk investasi terbaik kita (anak-anak kita)?