Site icon Majalah Grak

Makna Kurban dan Sejauh Mana Usaha Kita

Makna Kurban dan Sejauh Mana Usaha Kita

Makna Kurban dan Sejauh Mana Usaha Kita

hidden secret abandoned berber village ruins of zriba olia zaghouan tunisia

oleh: Bey Abdullah

Dalam beberapa hari lagi, kita dan umat Islam di seluruh penjuru dunia akan merayakan salah satu hari besar nan agung, yaitu hari raya Iedul Adha atau hari raya kurban. Momen ini bukan lah sekadar perayaan yang biasa, melainkan adalah satu momentum spiritual yang dalam dan sarat makna bagi perjalanan hidup seorang anak manusia. Iedul Adha adalah pengingat akan ketaatan dan keyakinan terhadap perjuangan fii sabilillah, kisah yang kita jadikan pelajaran adalah tentang Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail dalam menerima perintah Allah untuk mengorbankan dirinya, hal ini menjadi satu kisah simbolik tentang pengorbanan yang tulus seseorang demi keridhaan-Nya.

Bagi mereka yang belum mendapat panggilan suci untuk berhaji ke Baitullah, kurban adalah jalan pengganti, suatu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana jamaah haji melaksanakan ibadah di Tanah Suci. Kurban menjadi kesempatan untuk tetap merasakan spirit pengorbanan dan ketaatan dalam bentuk lain. Ia menjadi medan latihan hati, untuk ikhlas dan tunduk pada kehendak Ilahi.

Namun, kurban bukan semata-mata tentang menyembelih hewan dan membagikan daging. Esensinya jauh lebih dalam: pengorbanan diri, harta, waktu, dan tenaga di jalan Allah. Seorang hamba yang berkurban berarti ia rela melepas sebagian dari apa yang ia cintai demi kebaikan yang lebih besar, demi kemaslahatan umat dan demi memenuhi panggilan keimanan.

Dalam realitas kehidupan, bentuk kurban tidak selalu berupa kambing atau sapi. Kurban sejati bisa berarti merelakan waktu istirahat untuk membantu orang lain, menyisihkan harta untuk yang membutuhkan, atau bahkan menahan ego demi menjaga keharmonisan sesama. Kurban juga adalah refleksi dari kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, melainkan juga tentang memberi dan berbagi.

Kurban sejatinya adalah langkah lanjutan dari jihad kecil yang kita lakukan setiap hari: menahan diri dari perbuatan sia-sia, melatih kesabaran, dan memperbanyak amal shalih. Ia bukan titik awal, melainkan tahapan setelah seseorang telah mengokohkan dirinya dalam ibadah dan amal sosial. Tanpa proses tersebut, kurban bisa saja menjadi rutinitas tahunan yang berjalan tanpa ruh dan penghayatan akan pengorbanan di jalan Allah.

Allah tidak memerlukan daging atau darah hewan yang dikurbankan. Yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kita. Maka, jika hati masih dipenuhi oleh nafsu dunia, keserakahan, dan kezaliman, bagaimana mungkin kurban kita akan bisa bernilai di sisi-Nya? Seorang yang masih menindas sesamanya secara nyata seperti merampas hak orang lain, mengambil hartanya, yang semuanya demi keuntungan pribadi, sejatinya belum dapat memahami hakikat kurban, bahkan lebih jauh lagi akan sulit baginya untuk berkurban. Karena kurban adalah satu proses dalam pembentukan jati diri, dia akan seperti air dan minyak yang tidak dapat bercampur dengan jiwa-jiwa yang dzalim.

Manusia yang mampu berkurban adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh menjaga hak sesama manusia. Mereka tidak mencuri hak orang lain, tidak memanfaatkan kelemahan sesama demi keuntungan pribadi. Kurban melatih kita untuk jujur dalam berdagang, adil dalam memimpin, dan bijak dalam memutuskan. Bahkan lebih dari itu, kurban melatih kita memberikan lebih walaupun kita tidak mendapat apa-apa. Tetapi Allah begitu baik dan bijak dalam hal kurban, seseorang yang berkurban dia dapat mengambil sebagian dari apa yang dikurban di jalan Allah.

Begitu pula, berkurban sejatinya mengajarkan kita menjadi jalan keluar bagi kesukaran orang lain. Memberikan solusi, membantu meringankan beban mereka yang tertindas, serta menjadi sahabat dalam kesulitan. Ini adalah bentuk nyata dari semangat kurban dalam kehidupan sosial yang penuh dengan ujian dan tantangan.

Tidak kalah penting, kurban juga melatih kita untuk menjauhi kezaliman dalam bentuk apapun, baik terhadap manusia maupun makhluk lain. Menyakiti orang lain, menyebar kebencian, merusak lingkungan, atau menyia-nyiakan nikmat Allah adalah bentuk kezaliman yang bertentangan dengan semangat kurban itu sendiri.

Karena kurban adalah satu proses kontempelasi keimanan dan amal shalih, maka kita perlu bertanya pada diri sendiri: sejauh mana usaha kita dalam berkurban? Apakah kita sudah sungguh-sungguh berjuang dalam amal, dalam kerja keras untuk kebaikan umat, dalam menahan diri dari kerusakan dan kemaksiatan? Ataukah kita masih larut dalam kemewahan dunia, haus popularitas, dan rela menindas demi status?

Kurban sejati membutuhkan kesadaran, bukan sekadar ritual. Ia adalah bukti bahwa seseorang telah sampai pada fase keikhlasan, telah melewati fase-fase berat dalam mengendalikan nafsu dan membentuk diri dalam amal shalih yang konsisten. Tanpa proses itu, kurban hanya akan menjadi tradisi kosong seperti ibadah-ibadah lain yang hanya mengulang-ngulangnya tetapi tidak memberikan peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Dalam setiap usaha dan pengorbanan, haruslah ada kesadaran bahwa semua itu adalah untuk Allah, bukan untuk pujian manusia. Inilah yang membedakan kurban yang bernilai tinggi dengan kurban yang hanya menjadi tontonan sosial. Hanya dengan niat dan ikhlas yang lurus, kurban menjadi amal yang mengangkat derajat pelakunya.

Seseorang yang mengerti hakikat kurban akan menjadikannya sebagai pijakan untuk hidup yang lebih bermakna. Ia tidak hanya memikirkan dirinya, tetapi juga umat. Ia menjadi peka terhadap penderitaan orang lain dan berusaha menjadi penyembuh luka-luka sosial dengan kontribusi terbaiknya.

Maka masih ada waktu untuk kita menjadikan hari-hari menjelang Idul Adha ini sebagai waktu untuk merenung dan bermuhasabah. Apakah diri kita sudah pantas disebut orang yang berkurban? Apakah kita telah menapaki jalan pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari ataukah kita hanya terjebak dalam rutinitas tanpa makna?

Kurban adalah pengingat bahwa hidup ini harus punya arah dan tujuan. Arah itu adalah Allah, dan tujuan itu adalah ridha-Nya. Maka setiap langkah, setiap usaha, dan setiap pengorbanan harus selalu bermuara pada-Nya. Setiap amal shalih harus melalui cara-cara yang diridhai oleh-Nya, cara-cara yang diajarkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Cara yang akan mendatangkan ketakwaan sekaligus ganjaran pahala atas ketakwaan kita.

Pada akhirnya kita akan mampu memaknai kurban bukan hanya tentang hewan sembelihan, tapi tentang diri kita yang disiapkan dalam pengembaraan-pengembaraan perjuangan di jalan Allah. Kurban bukan hanya tentang memberi, tapi tentang memberikan apa yang kita cinta karena ketakwaan kita kepada Allah. Semoga kita tergolong orang-orang yang benar-benar berkurban, bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga dalam penghayatan makna keimanan yang mendalam.

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاء

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Karena itu, beruntunglah orang-orang yang ‘asing’.” (HR Muslim : 145)

Artikel asli: https://darulfunun.id/learn/ibrah/20250528-makna-kurban-dan-sejauh-mana-usaha-kita

Exit mobile version