Ilmu pengetahuan merupakan anugerah terbesar yang Allah SWT berikan kepada manusia. Baik ilmu ilmiah maupun uluhiyah, keduanya adalah bentuk hikmah yang memuliakan manusia di muka bumi. Allah dengan jelas menyatakan keutamaan ilmu dalam Al-Quran, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11). Kehormatan ini menegaskan bahwa ilmu tidak hanya menjadi instrumen pemahaman, tetapi juga sarana untuk menjaga kebenaran dan mendekatkan manusia kepada Allah.
Ilmu adalah alat utama untuk menjaga kebenaran, di mana keberadaan Tuhan menjadi inti dari segala pencarian dan tujuan ilmiah. Dalam tradisi Islam, ilmu tidak hanya dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena dunia, tetapi juga untuk menegaskan keesaan dan kekuasaan Allah. Melalui ilmu, manusia dapat memahami hakikat penciptaan, mengungkap tanda-tanda kekuasaan Allah, dan menjalankan amanah sebagai khalifah di bumi.
Lebih dari itu, ilmu berfungsi sebagai instrumen untuk menjaga keadilan dan mencegah kedzaliman. Keadilan adalah nilai inti dalam Islam, dan ilmu memberikan panduan yang jelas untuk menegakkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan. Sejarah mencatat bagaimana para ulama menggunakan ilmu untuk membela kaum lemah, menentang penguasa zalim, dan merumuskan hukum yang adil berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Namun, keragaman dalam memahami ilmu sering kali menjadi sumber perbedaan, atau yang dikenal dengan istilah ikhtilaf. Perbedaan ini tidak selalu negatif, sebab ia mencerminkan kekayaan intelektual umat Islam. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, perbedaan ini dapat memicu konflik dan polarisasi di tengah masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk memahami ilmu dengan metode yang benar, yakni yang bersandar pada referensi utama dalam Islam, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Selain merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah, penting pula untuk menghormati pandangan para ulama, baik ulama salaf maupun kontemporer, yang memiliki kedalaman ilmu dan pengalaman dalam memahami agama. Pendapat mereka sering kali menjadi rujukan penting dalam menyikapi isu-isu yang kompleks. Ulama yang memegang otoritas fatwa, baik secara individu maupun sebagai bagian dari lembaga resmi, memiliki peran kunci dalam menyelesaikan perbedaan yang timbul di tengah masyarakat.
Ikhtilaf pada umumnya terjadi pada level ittiba’, yaitu perbedaan dalam mengikuti pendapat ulama tertentu terhadap masalah-masalah yang bersifat kontekstual. Perbedaan ini seharusnya dapat diselesaikan melalui institusi fatwa yang otoritatif. Dengan demikian, umat memiliki panduan yang jelas dan dapat menghindari konflik yang tidak perlu. Banyaknya pendapat tidak bermasalah, selama dalam lingkup individual atau komunitas terbatas. Akan tetapi untuk urusan umum, adanya pendapat fatwa yang otoritatif akan sangat membantu untuk menciptakan kestabilan.
Namun, upaya ini membutuhkan peningkatan literasi kaum santri. Santri, sebagai penjaga tradisi keilmuan Islam, perlu dijembatani untuk memasuki ranah pendidikan formal. Dengan menempuh jenjang pendidikan formal, santri dapat mengembangkan kemampuan intelektualnya dan mempersiapkan diri untuk berkontribusi dalam berbagai bidang, termasuk dalam institusi fatwa yang otoritatif.
Di banyak negara Islam, ulama menempuh pendidikan formal yang terintegrasi dengan tradisi keilmuan Islam. Pola ini memberikan peluang bagi ulama untuk memiliki otoritas ilmiah dan sosial yang lebih luas. Literasi kaum santri yang berbasis pada pendidikan formal juga memungkinkan mereka untuk bersaing di ranah global dan menjadi bagian dari diskursus intelektual internasional. Peningkatan literasi kaum santri akan berkontribusi pada penguatan institusi fatwa, yang memiliki peran sentral dalam menyelesaikan konflik ikhtilaf. Dengan demikian, umat Islam dapat memiliki panduan yang lebih terstruktur dalam menjalani kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Lebih jauh, peningkatan literasi santri akan mendukung kebangkitan Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai Islam, kaum santri dapat mengembalikan kegemilangan Islam sebagai peradaban yang menjunjung tinggi keadilan. Kegemilangan Islam tanpa keadilan hanyalah retorika belaka. Keberadaan ulama yang berilmu dan berintegritas adalah kunci untuk memastikan bahwa nilai-nilai keadilan dapat ditegakkan. Dalam konteks ini, peran santri sebagai generasi penerus ulama menjadi sangat penting.
Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pendidikan santri, baik dalam konteks tradisional maupun formal. Dengan pendekatan ini, konflik ikhtilaf dapat diminimalisir, dan literasi kaum santri sebagai pilar peradaban Islam dapat terus berkembang. Melalui upaya kolektif ini, umat Islam dapat berharap untuk kembali menghadirkan nilai-nilai utama Islam, yakni keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Kegemilangan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam hanya dapat terwujud jika umat Islam bersatu dalam ilmu dan amal, serta menjadikan keadilan sebagai landasan dalam segala aspek kehidupan.
Artikel asli: https://darulfunun.id/insight/islamic-studies-civilization/20241230-konflik-iktilaf-dan-literasi-kaum-santri