Hari ini kita berada di era dunia serba metaverse dan teknologi aktif, banyak sekali para penuntut ilmu yang bersaing dan berempuh-empuh mendapatkan ilmu yang diperoleh, akan tetapi ada juga yang tidak sampai kepada ilmu, serta kebanyakan tidak mengamalkan dan berbagi kepada orang khalayak ilmu yang diperolehnya. Sering sekali mendengar pertanyaan yang sering sekali kita temukan, “mana lebih dahulu, adab atau ilmu?” mendengar hal demikian, sudah pasti sebagian orang mengingat perkataan Syekh Abdul Qadir Al Jailani: “Aku lebih menghargai orang yang beradab, daripada orang yang berilmu. Jika hanya berilmu, iblis pun lebih tinggi ilmunya daripada manusia”. Bukan ilmu yang pertama kali dibanggakan. Para ulama terdahulu belajar adab. Rendah hati dan tawadhu untuk menerima pengajaran dari gurunya. Inilah kewajiban para murid sebelum belajar ilmu. Tak ada ruang bagi yang sombong. Iblis di usir dari surga juga karena sombongnya. Betapa mengerikan bila ilmu ditangan para tuna moral dan tuna adab.
Imam Az-Zarnuji menulis dalam kitab Ta’limul Al-Muta’allim dan terdapat dalam kitab Al-hidayah pernah berkata, “ Ada salah seorang Imam senior di Bukhara ikut duduk dalam suatu majlis, dan terkadang beliau berdiri tegak di tengah-tengah majlis”. Maka orang orang pun bertanya akan hal itu, Ia menjawab, “Sesungguhnya putra guruku sedang bermain bersama anak-anak di jalan, dan kadang-kadang ia datang menuju pintu masjid. Apabila aku melihatnya, maka aku berdiri sebagai penghormatan untuk guruku”. Lalu, Al-Qadhi Imam Fakhruddin Al-Arsabandiy beliau merupakan ketua para imam di Maru, beliau pun sangat menghormatinya dengan penghormatan setinggi-tingginya, ia pernah berkata, “sesungguhnya aku mendapatkan kedudukan ini dengan melayani guru. Dulu aku (melayani guruku Al-Qadhi Imam Abu Zaid), aku aku menyiapkan makanannya dan tidak memakan darinya sedikit pun.” Jika seorang guru tersakiti oleh murid, maka murid terhalang mendapatkan keberkahan ilmu, dan dia tidak dapat mengambil manfaat dari ilmu itu kecuali hanya sedikit, ibaratkan seperti guru dan dokter, jika keduanya tidak akan memberikan nasihat jika tidak dihormati tahanlah sakitmu jika kamu kasar terhadap dokter, dan nikmatilah kebodohanmu jika kamu kasar terhadap gurumu. Yusuf bin Al Husain rahimahullah mengatakan:
بالأدب تفهم العلم
Separuh guru besar di masa lalu menganjurkan untuk mempelajari adab dahulu sebelum ilmu. Seperti halnya Abdullah bin Mubarak yang berkata, “Dahulu kami belajar adab 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.” Perkataan tersebut menunjukkan pentingnya adab yang baik, terutama saat menuntut ilmu. Dengan mempelajari adab akan lebih mudah memahami ilmu, selain itu ilmunya juga bisa menjadi berkah.
Seorang penuntut ilmu harus selalu menjaga diri dari akhlak-akhlak yang tercela. Sebab, akhlak yang yang buruk itu ibarat hewan. Rasulullah bersabda:
لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat anjing dan lukisan.”
Sebenarnya, orang belajar itu melalui perantara malaikat.terutama yang harus dijauhi adalah sikap sombong, karena dengan adanya kesombongan, ilmu tidak bisa diraih. Didalam kitab Ta’lim Al-Muta’allim mengatakan “Al-i’lmu harbun lilmuta’aliy kassayli harbun lilmakanil ‘aliy” yaitu ilmu adalah musuh bagi orang sombong, ibaratkan air bah merupakan musuh bagi dataran tinggi.
Demikian orang yang berilmu tapi tidak memiliki adab karena saat menuntut ilmunya tidak diikuti adab penuntut ilmu dan tidak menerapkan apa yang seharusnya seorang berilmu itu berintelektual yang baik. Karena itu banyak para ‘ulama terdahulu mendahulukan adab sebelum belajar ilmu bahkan menuliskan kitab-kitab yang dituliskan pada murid-murid setelahnya untuk bisa dipelajari agar mendapatkan keberkahannya.