Site icon Majalah Grak

Indonesia Ingin Bergabung BRICS

KTT BRICS Ke-16 di Kazan, Rusia, pada tanggal 24 Oktober 2024.

Indonesia secara resmi menyatakan minatnya untuk bergabung dengan BRICS, kelompok ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Dalam pertemuan BRICS Plus di Kazan, Rusia, Menteri Luar Negeri Sugiono menyatakan bahwa Indonesia ingin mengangkat kepentingan negara-negara berkembang atau Global South melalui keanggotaan di BRICS. Sugiono menyebut bahwa langkah ini sesuai dengan semangat politik luar negeri bebas aktif dan non-blok yang dianut Indonesia. “Bergabungnya Indonesia ke BRICS bukan berarti mengikuti kubu tertentu, tetapi bertujuan untuk memperkuat suara kolektif negara berkembang dalam percaturan global,” ujarnya.

BRICS sendiri dibentuk untuk memperkuat pengaruh negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Pakar hubungan internasional, Idil Syawfi, menyebut BRICS sebagai “gerakan revisionis” yang mengusung narasi anti-status quo, terutama dalam hal ekonomi global. Menurut Idil, jika Indonesia bergabung, hal ini bisa dianggap sebagai keberpihakan kepada kubu negara-negara yang tidak puas dengan sistem yang ada. “Bergabungnya Indonesia dengan BRICS bisa dicap sebagai kelompok perlawanan terhadap dominasi Barat,” ujarnya. Namun, Sugiono menegaskan bahwa Indonesia tetap akan aktif di forum-forum lain dan terus menjalin hubungan dengan negara maju.

Sejarah BRICS dimulai dengan pertemuan pertama negara-negara anggota pada tahun 2009 di Yekaterinburg, Rusia, yang bertujuan mendorong kolaborasi investasi. Namun, seiring berjalannya waktu, BRICS berkembang menjadi blok geopolitik yang bertujuan untuk mengubah dinamika kekuasaan global. BRICS menyoroti isu seperti “de-dolarisasi,” atau pengurangan ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional, yang dianggap sebagai cara untuk memperjuangkan sistem multipolar. Ini mencerminkan semangat independensi negara-negara Global South yang mencoba mengimbangi dominasi ekonomi dan politik negara-negara maju.

Dalam keterangan tambahan, Musa Maliki, pengamat dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, memandang BRICS sebagai gerakan nyata yang mengedepankan solidaritas Selatan-Selatan. Menurut Musa, BRICS memberikan manfaat konkret bagi anggotanya melalui peningkatan arus perdagangan dan investasi yang intens, sehingga lebih tahan terhadap embargo negara-negara maju. “Dengan BRICS, perekonomian global akan lebih seimbang dan tidak hanya berpusat pada negara-negara maju,” jelasnya. Musa juga menyatakan bahwa Prabowo kemungkinan lebih condong kepada BRICS ketimbang OECD, terutama karena perbedaan visi strategis, ekonomi, dan solidaritas.

Prabowo sendiri, dalam pidatonya setelah dilantik sebagai presiden, menegaskan bahwa Indonesia akan menempuh jalan bebas aktif dan non-blok serta berupaya menjadi sahabat bagi semua negara. “Kita menolak penjajahan dalam segala bentuk,” tegasnya. Dengan BRICS sebagai pilihan utama, Indonesia berharap dapat memperkuat kolaborasi dan kemandirian ekonomi bersama negara-negara berkembang lainnya. Hal ini diharapkan dapat memberi Indonesia posisi yang lebih kuat di kancah internas.

~dari berbagai sumber

Exit mobile version